Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia hampir tidak pernah luput dari masalah-masalah hukum seperti pelanggaran, sengketa proses, perselisihan hasil pemilu; tindak pidana pemilu. Ini menunjukkan bahwa pesta demokrasi di Indonesia belum berjalan sesuai dengan harapan. Dengan kata lain, pemilu demokratis dan berkualitas belum seperti yang diharapkan.Â
Contohnya sengketa Pilpres 2019. Terlepas dari pembuktian di pengadilan, sengeketa hasil pilpres cukup untuk digunakan sebagai dasar argumen bahwa perjalanan menuju pemilu yang demokratis dan berkualitas sedang berjalan lambat.
Bahkan, seakan memudarkan rasa optimisme masyarakat untuk menggapai pemilu yang kita sepakati terlaksana secara demokratis itu.
Lantas apa yang hilang atau apa yang tidak kita pahami sebagai warga negara?Â
Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia periode 2012-2017, Prof. Dr. Muhammad, S.IP, M.Si mengatakan bahwa untuk pelaksanaan Pemilu dapat dinilai berlangsung secara demokratis jika menghadirkan 2 (dua) aspek secara simultan yaitu aspek prosedural dan aspek substantif.
Artinya bahwa prosedur pemilu dan nilai-nilai substantif yang telah diatur dalam undang-undang terabaikan atau tidak dieksekusi secara sempurna.
Pertanyaannya adalah bagaimana menghadirkan aspek-aspek ini dalam sebuah pesta demokrasi di Indonesia dengan berbagai tantangan seperti perbedaan suku, agama, ras dan wilayah geografis?
Dalam tulisan ini, penulis akan mengulas satu per satu, bagaimana aspek-aspek ini dihadirkan oleh pemilih, peserta pemilu dan penyelenggara pemilu agar semakin hari dengan tantangan perkembangan teknologi yang semakin meningkat, kita masih bisa mewujudkan pemilu demokratis.
Aspek prosedural
Hal pertama yang perlu diperhatikan untuk mewujudkan pemilu demokratis adalah prosedur yang sudah diatur dalam undang-undang sebagai landasan pelaksanaan pesta demokrasi.
Sebagai negara hukum, regulasi bertujuan untuk memberikan jaminan ketertiban dan keamanan bagi masyarakat. Ketertiban tersebut akan terjaga apabila masyarakat mentaati hukum yang ada.