Mohon tunggu...
Neno Anderias Salukh
Neno Anderias Salukh Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Budaya | Pekerja Sosial | Pengawas Pemilu

Orang biasa yang menulis hal-hal biasa

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Batas Pemahaman terhadap Permendikbud PPKS

13 November 2021   06:38 Diperbarui: 13 November 2021   07:14 468
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kekerasan seksual. (ANTARA FOTO/SIGID KURNIAWAN) via Kompas

Kekerasan seksual yang marak di lingkungan kampus seakan tidak menjadi perhatian pemerintah. Berangkat dari masalah ini, sejak 2 tahun terakhir, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyusun peraturan menteri untuk mencegah praktek-praktek kekerasan seksual yang sering terjadi itu.

Akhirnya, publik mendapat angin segar karena Kemendikbud berhasil mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi.

Permendikbud ini diharapkan mengurangi bahkan menghentikan kekerasan seksual yang disebut sebagai salah satu penghambat dalam upaya mencapai cita-cita bangsa. Harapan itu terlihat dari banjirnya dukungan dari berbagai pihak terkait dengan terbitnya Permendikbud ini.

Akan tetapi, nyatanya terdapat beberapa pihak yang masih mempersoalkan Permendikbud ini. Sejauh ini penolakan datang dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

PP Muhammadiyah meminta Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim mencabut Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tersebut. Menurutnya, peraturan tersebut cacat secara formil dan materil.

Cacat  formil yang dimaksud adalah minimnya keterbukaan dan keterlibatan berbagai pihak terkait dalam penyusunan materil. Sementara cacat materil yang dimaksud adalah beberapa pandangan yang tidak berlandaskan agama, salah satunya adalah 'mengizinkan seks bebas'.

Ijtima Ulama Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga merekomendasikan pemerintah mencabut atau setidak-tidaknya mengevaluasi dan merevisi Permendikbud tersebut. MUI masih mempersoalkan frasa yang sama yaitu 'tanpa persetujuan korban' yang memungkinkan terjadinya praktek seks bebas. Sementara seks bebas bertentangan dengan agama dan Pancasila.

PKS pun mempersoalkan hak yang sama. Karena itu, jika kita menarik benang merah apa yang dipersoalkan ternyata sama, soal seks bebas. 

Bagi penulis, peraturan yang cacat formil secara hukum bukanlah sebuah masalah yang serius jika tidak ada isi peraturan yang berakibat fatal. Jika memang ada anggapan bahwa terdapat cacat formil maka dapat digugat untuk dibuktikan bahwa peraturan tersebut cacat hukum.

Sehingga persoalan mendasar adalah penafsiran melegalkan seks bebas. Bagi penulis, pemahaman seperti ini benar-benar keliru karena Permendikbud ini memiliki margin atau hanya terbatas pada pencegahan kekerasan seksual di lingkungan kampus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun