Mohon tunggu...
Neno Anderias Salukh
Neno Anderias Salukh Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Budaya | Pekerja Sosial | Pengawas Pemilu

Orang biasa yang menulis hal-hal biasa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sarjana Kok Kerja Kebun?

6 November 2021   12:55 Diperbarui: 12 November 2021   07:42 1060
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kebun Tomat dan Cabe | Dokumentasi Neno Anderias Salukh

Sarjana kok kerja kebun? Bagaimana bisa seorang petani milenial bergelar sarjana menghadapi pertanyaan sindiran semacam ini? Bertahan pada pilihan menjadi petani atau meninggalkan pilihan itu.

Pertanyaan sindiran ini seringkali menghantui pikiran penulis ketika penulis memutuskan untuk berkebun setelah meraih gelar sarjana. Pertanyaan ini wajar didapat karena mindset masyarakat di lingkungan penulis terhadap sarjana dan kebun adalah dua hal yang tak bisa dipertemukan.

Sarjana di mata masyarakat adalah seorang lulusan dari perguruan tinggi yang akan bekerja di instansi pemerintah dengan status Pegawai Negeri Sipil atau setidaknya berseragam rapi. Sementara kebun adalah tempat seseorang yang tidak berpendidikan. 

Karena itu, sarjana yang bekerja di kebun adalah pilihan yang tidak dapat diterima dalam pola pikir masyarakat. Ketika pilihan itu tidak dapat diterima, maka muncullah pertanyaan sarjana kok kerja kebun? 

Masyarakat akan menilai bahwa bekerja di kebun adalah pilihan terakhir seorang sarjana yang tidak diterima dalam seleksi Pegawai Negeri Sipil, seleksi pegawai perusahaan dan lainnya maka pertanyaan sarjana kok kerja kebun adalah sebuah sindiran yang merendahkan.

Akibatnya sarjana bisa saja tak dianggap dalam masyarakat bahkan dikucilkan dan tidak dilibatkan dalam dialog-dialog pembangunan dan pengembangan masyarakat.

Berangkat dari masalah ini, seorang sarjana yang bekerja di bidang pertanian adalah seseorang yang harus berani mengalahkan dirinya terlebih dahulu. Mengapa? Anggapan sarjana dan kebun tidak dapat dipertemukan sudah mengakar dalam dirinya.

Jika kemudian ia berhasil mengalahkan dirinya maka ia akan bertahan dalam gempuran sindiran masyarakat bahkan orang-orang terdekatnya sendiri.

Tak berhenti disitu, seorang sarjana harus membuktikan bahwa sarjana dan kebun harus disatukan di zaman ini. Karena petani harus berwawasan dan berinovasi. Istilah kerennya adalah petani ilmiah.

Petani ilmiah adalah petani yang mengandalkan ilmu pengetahuan alam (baik yang modern dan kearifan lokal). Petani yang mengkombinasikan pengetahuan modern dan kearifan lokal akan beradaptasi dengan perubahan iklim yang terus berubah setiap tahunnya sehingga ancaman gagal tanam dan gagal panen akan diminimalisir sedini mungkin.

Dalam eksekusi di lapangan, jika petani menemui kendala atau hambatan seperti hama atau tanaman yang kurang subur, petani dapat menggunakan metode-metode ilmiah untuk mengamati kemudian menguji coba jalan keluarnya sesuai dengan pengetahuan lokal dan modern terhadap alam.

TIDAK HARUS SARJANA PERTANIAN

Panen tomat organik | Dokumentasi  pribadi
Panen tomat organik | Dokumentasi  pribadi

Jika seorang sarjana diterima sebagai pekerja kebun maka sarjana itu adalah sarjana pertanian. Sementara sarjana sains matematika seperti penulis sangat sulit diterima dalam masyarakat sebagai pekerja kebun karena dianggap tidak linier dengan studi yang dipelajari seperti ini.

Padahal seorang sarjana sains matematika adalah sarjana yang mempelajari tentang logika untuk problem solving. Mulai dari memahami masalah, menganalisis masalah, hingga penyelesaian masalah (evaluasi). Dalam konteks pendekatan ilmiah, mulai dari observasi hingga eksperimen atau uji coba.

Maka pilihan seorang sarjana sains matematika bekerja di kebun bukan pilihan yang salah tetapi pilihan yang menantang. Bagaimana sarjana membuktikan bahwa kebun seorang sarjana berbeda dari petani pada umumnya agar paradigma masyarakat diubah bahwa kebun membutuhkan seorang sarjana.

Dalam konteks penulis, memilih bekerja di sektor pertanian adalah untuk menjaga warisan tanah, tanaman, dan budaya. Tanah harus tetap dikuasai oleh masyarakat lokal, tanaman lokal yang sudah beradaptasi berpuluh-puluh tahun harus dipertahankan, dan budaya serta kearifan lokal pun harus dipertahankan.

Mengingat, tanah masyarakat cenderung dikelola oleh perusahaan dengan eksploitasi yang tak dapat dipertanggungjawabkan. Tanaman-tanaman lokal tidak lagi mendapat tempat yang istimewa dan budaya serta kearifan lokal dibawah bayang-bayang modernisasi.

Seseorang dari masyarakat lokal yang memiliki kesempatan untuk belajar di perguruan tinggi semestinya kembali ke identitas dengan pengetahuan yang lebih baik untuk mendorong masyarakat lokal berkembang di daerahnya.

Seperti kata-kata dari Ibrahim Datuk Sutan Malaka. "Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali."

Salam!!!

Kupang, 06 November 2021
Neno Anderias Salukh

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun