Polemik penunjukan istri Raffi Ahmad, Nagita Slavina sebagai Ikon PON XX Papua menjadi trending topik di jagat maya setelah komika asal timur, Arie Keriting memprotesnya melalui media sosial. Suami artis Indah Permatasari ini menilai penunjukan Nagita Slavina sebagai Ikon PON XX Papua merupakan sebuah Cultural Appropriation.
Sebelum beranjak ke polemik Cultural Appropriation, kita perlu memahami penetapan PON XX Papua. Penetapan Provinsi Papua menjadi tuan rumah PON ke-20 melalui Surat Keputusan (SK) Menpora selain melalui hasil voting yang diharapkan menjadi roda percepatan dalam pembangunan Papua ke depan atau setidaknya mengekspresikan orang Papua seutuhnya sebagai bagian dari Indonesia.
Papua selama ini disebut sebagai anak tiri, pusat diskriminasi dan berbagai pelanggaran HAM bahkan Papua disebut sebagai sapi perahnya pemerintah Indonesia tetapi masih tertinggal dari segala sisi. Karena itu, langkah pemerintah dalam menetapkan Papua sebagai tuan rumah PON XX patut diapresiasi, merupakan langkah bijak untuk perlahan mengobati luka orang Papua.
Pemerintah berusaha merepresentasikan Papua melalui event tersebut. Dapat dilihat dari Maskot Kangpo & Drawa yang merupakan dua hewan khas (kekayaan) Papua.
Kangpho adalah singkatan dari Kanguru pohon, yang meskipun dikenal sebagai hewan khas Australia, Kangpho banyak ditemukan di Papua. Salah satu Kangpho dikenal dengan kanguru pohon mantel emas karena bagian pipi, leher, dan kakinya dihiasi warna kuning keemasan.
Sementara Drawa adalah Burung Cenderawasih yang identik dengan orang Papua sehingga tidak asing bagi masyarakat Indonesia. Drawa adalah burung jantang dewasa yang memiliki hiasan didominasi warna merah, jingga dan warna campuran antara merah dan jingga pada bagian sisi perutnya. Sementara bulu bagian dada berwarna cokelat tua dan pada ekornya terdapat dua buah tali yang panjang berwarna hitam.
Sedangkan Boaz Solossa dipilih sebagai Duta PON XX Papua. Boaz Solossa merupakan salah satu pesepakbola terbaik asal Papua yang dimiliki Indonesia. Dia dikenal sebagai striker dengan naluri gol yang tinggi, akurasi umpan yang baik, tembakan dengan kaki kiri, serta teknik dribbling di atas rata-rata.
Kemampuan itulah yang membuat Boaz Solossa sebagai salah pemain asal Papua yang menjadi representasi orang timur ikut berkontribusi pada negara bahkan mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional.Â
Namun, dibalik kebijaksanaan pemerintah ini ada kekeliruan atau apapun itu. Ada sesuatu yang hilang dari upaya pemerintah dalam merepresentasikan Papua, ada sesuatu yang kurang lengkap dari upaya pemerintah mengobati luka orang Papua melalui event olahraga tersebut. Ya, di manakah perempuan Papua?
Saya pikir langkah pemerintah membentuk ikon PON sangat baik jika ikon PON adalah perempuan Papua yang jelas merepresentasikan Papua seutuhnya. Akan tetapi, pemilihan Nagita Slavina sebagai Ikon PON XX ini jelas mengundang sebuah dugaan, apakah pemerintah tidak percaya dengan perempuan Papua untuk mengendors event nasional ini? Ataukah perempuan Papua tidak layak menjadi Ikon PON XX Papua?
Terlepas dari dugaan ini, apapun alasannya, segala tindakan semacam ini akan diduga sebagai sebuah eksploitasi budaya karena merampas kredit yang layak diterima oleh orang Papua (perempuan) yang selama ini disebut sebagai kelompok minoritas yang tertindas. Maka eksploitasi budaya ini adalah Cultural Appropriation yang disuarakan oleh Arie Keriting.