Mohon tunggu...
Neno Anderias Salukh
Neno Anderias Salukh Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Budaya | Pekerja Sosial | Pengawas Pemilu

Orang biasa yang menulis hal-hal biasa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi "Hanya Berani" Memukul Jidat

26 November 2020   06:15 Diperbarui: 26 November 2020   06:17 411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menteri Kelautan dan Perikanan 2019-2024 Edhy Prabowo | Doc KKP via kompas.com

Saya tidak tahu berapa banyak orang yang terkejut tetapi saya yakin bahwa tidak sedikit orang pasti terkejut dengan peristiwa Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo pada Rabu, 25 November 2020 dini hari.

Dilansir dari kompas.com, Edhy Prabowo ditangkap bersama sejumlah karyawan Kementerian Kelautan dan Perikanan serta beberapa anggota keluarga di Bandara Soekarno Hatta pukul 01.25 WIB.

Penangkapan Edhy Prabowo bukan tanpa alasan, Edhy ditangkap atas dugaan korupsi ekspor benih lobster yang sempat menjadi polemik di lingkup pemerintahan dan masyarakat. Polemik ini bermula dari kebijakan Edhy Prabowo mencabut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56 tahun 2016 tentang Larangan Penangkapan dan/atau Pengeluaran Lobster, Kepiting dan Rajungan dari Wilayah Negara Republik Indonesia.

Menurut Edhy Prabowo, pencabutan peraturan menteri yang dibuat pada masa Susi Pudjiastuti adalah semata-mata untuk mendengarkan semua suara termasuk dari komendan kelautan dan kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan yang selama ini berseteru dengan Susi Pudjiastuti soal lobster bahkan penenggelaman kapal.

Tentunya pencabutan larangan ekspor benih lobster memiliki alasan logis bahwa ekspor benih lobster perlu dilakukan karena dapat memberi dampak pada pertumbuhan ekonomi nasional dan juga mencegah penyelundupan atau pasar gelap ekspor benih lobster yang selama ini terjadi di masa Susi Pudjiastuti.

Namun, lain di bibir lain di hati. Setelah satu tahun masa kerja, Edhy malah ditetapkan sebagai tersangka dalam pasar gelap ekspor benih lobster. Peristiwa ini bukan hanya mengagetkan tetapi mengherankan publik yang selama ini menikmati retorika manis anak buah Prabowo Subianto itu.

Dalam Raker bersama Komisi IV DPR RI pada Senin (6/7/2020), Edhy Prabowo mengatakan bahwa ia tidak akan bermain dan menari demi sebuah popularitas yang melegakan hati bahwa ia akan bekerja dalam diam tetapi akan membawa dampak positif yang sangat besar (kompas.com).

"Saya enggak mau lagi bermain, menari untuk mencari popularitas diri saya. Jadi saya sangat percaya Bapak/Ibu (Komisi IV DPR RI) mendukung saya. Saya siap bapak/ibu memarahi saya kapan saja," 

Namun retorika itu hilang dan tenggelam di lautan setelah ia ditangkap basah atas dugaan korupsi ekspor benih lobster yang selama ini diperdebatkan. 

Artinya, publik dapat menilai bahwa pencabutan peraturan menteri tersebut adalah sebuah rencana yang terstruktur dan sistematis. Lobster boleh dijual ke luar negeri agar menjadi pasar gelap setelah Narkoba dan Human Trafficking.

Keterlibatan Edhy Prabowo dalam dugaan korupsi ini menjadi pukulan telak. Bukan hanya kepada Jokowi tetapi juga Prabowo Subianto. Bahkan, mungkin Jokowi dan Prabowo Subianto memukul jidat hati mereka melihat Edhy Prabowo mengendalikan pasar gelap ekspor benih lobster demi kepentingan segelintir dan diri sendiri.

Wajar jika Jokowi memukul jidatnya karena OTT Edhy Prabowo adalah konsekuensi logis dari kompromi dan akomodasi politik. Pemerintahan Jokowi merangkul Gerindra dengan menetapkan Prabowo Subianto sebagai menteri pertahanan dan Edhy Prabowo sebagai menteri KKP menunjukkan bahwa adanya ketakutan terhadap kekuatan oposisi yang akan dipimpin oleh Gerindra.

Gerindra dibawah komando Prabowo Subianto ditakutkan akan menjadi goncangan terbesar sehingga dua kursi kementerian adalah jatah kompromi dan akomodasi bagi Gerindra. 

Memang kualitas dua orang dari oposisi ini tidak diragukan untuk mengeksekusi visi presiden tetapi mereka dipilih tanpa melalui sebuah pertimbangan yang matang. Mereka hanya mengisi kuota yang disediakan oleh pemerintahan Jokowi.

Kemudian, hari ini Edhy Prabowo ditangkap oleh KPK, dapat dikatakan bahwa peristiwa ini adalah sebuah pengkhianatan terhadap pemerintah yang dilakukan oleh partai politik abu-abu. Oposisi bukan-koalisi bukan. Maka sulit bagi pemerintah untuk menuntut Gerindra. 

Seharusnya, saat seperti ini, Jokowi harus berani mendepak Gerindra dari kabinet tetapi karena kompromi politik, Jokowi hanya berani memukul jidat tetapi tidak berani menindak tegas koalisi yang mengkhianati.

Memukul jidat adalah bentuk penyesalan. Maksud hati memperkuat koalisi pemerintah, apa daya koalisi menjadi duri dalam daging? Maksud hati memperlancar kinerja pemerintah, apa daya para menteri hanya bisa korupsi?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun