Mohon tunggu...
Neno Anderias Salukh
Neno Anderias Salukh Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Budaya | Pekerja Sosial | Pengawas Pemilu

Orang biasa yang menulis hal-hal biasa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Iklan, Hoaks yang Diabaikan

14 Oktober 2019   03:00 Diperbarui: 14 Oktober 2019   04:33 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Iklan, Hoaks yang tidak dipedulikan"

Begitulah frasa comedi dari seorang pria dalam Stand Up Comedy Indonesia season 8 (SUCI 8). Ia mencontohkan iklan mie instan terasa ayam bawang tetapi saat dimakan rasanya biasa saja.

Saya yakin banyak yang tidak setuju tetapi tidak sedikit juga yang menyetujui pendapat comedian yang akrab disapa Rieztieq ini. 

Iklan Sampo yang menunjukkan seorang perempuan berambut lurus meletakkan sisir di kepalanya dan sisir itu berjalan tanpa sedikit hambatan lalu jatuh ke tanah tanpa bantuan dorongan tangan sedikitpun. Wow.

Saya paham, iklan tersebut secara tidak langsung mengatakan bahwa menggunakan Sampo tersebut rambut akan terasa lembut. Akan tetapi, apakah semua tahu bahwa tidak sedikit juga yang tidak memaknai seperti itu. Mereka berpikir Sampo dapat membuat rambut keriting menjadi lurus dan lurus menjadi lebih lurus.

Saya sedikit kesulitan menemukan iklan yang jujur dan bagi saya, iklan yang paling jujur adalah iklan rokok karena disetiap iklannya akan menunjukkan kalimat "Merokok dapat membunuhmu" atau "Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, gangguan kehamilan dan janin".

Adakah selain itu? Sebutkan! Mungkin saya yang belum pernah mendengar dan membacanya tapi mayoritas iklan masih menyembunyikan kekurangan produknya.

Dilansir dari KOMPAS.com, Pemerintah Singapura melarang total iklan minuman manis dalam kemasan. Hal tersebut dilakukan sebagai upaya memerangi penyakit diabetes.

Masih dari media yang sama, larangan tersebut diumumkan pada Kamis, 10 Oktober 2019. Larangan tersebut mencakup seluruh platform media massa dan kanal online seperti televisi, internet, surat kabar, radio, dan iklan luar ruangan.

Minuman-minuman seperti minuman instan, minuman berkarbonasi, jus, minuman susu fermentasi, dan yogurt yang mengandung kadar gula sedang dan tinggi wajib mencantumkan label "Tidak Sehat".

Singapura menjadi negara pertama di dunia yang melakukan itu karena Singapura merupakan salah satu negara yang darurat diabetes. Menurut data dari International Diabetes Federation yang dilansir dari detik.com ada sekitar 600 ribu kasus diabetes di Singapura pada tahun 2017 sehingga upaya tersebut adalah untuk membendung dan menghambat laju pertumbuhan kasus diabetes.

Bagi penulis, Keputusan Pemerintah Singapura untuk membatasi iklan minuman yang hampir tidak pernah memperlihatkan sisi negatifnya karena jarang sekali bahkan hampir tidak pernah kita melihat iklan minuman manis memberitahu kekurangannya kepada publik.

Ataukah kita pernah mendengar iklan minuman manis mengatakan bahwa "Minuman ini dapat membunuhmu" atau "Minuman ini dapat menyebabkan diabetes dan sebagainya?"

Iklan seharusnya tidak mensubjektifkan produk tetapi mendeskripsikan produk secara objektif. Namun, kenyataannya iklan lebih banyak diksi subjektif yang membuat orang mudah percaya.

Karena itu, bagi saya sejumlah iklan produk zaman sekarang adalah hoaks yang rapi karena diframing dengan nama iklan. Pembuktian palsu sebuah produk. Bahkan dalam iklan obat-obatan, lebih menjamin sebuah kesembuhan lebih dari seorang dokter padahal tidak 100% demikian.

Apakah larangan seperti yang dilakukan oleh Singapura sangat tepat bagi negara seperti Singapura? Jawabannya tergantung pada tingkat kecerdasan masyarakat memahami maksud dari pemerintah dan label Tidak Sehat pada setiap kemasan.

Menurut UNITED NATIONS DEVELOPMENT PROGRAMME, Singapura merupakan salah satu negara dari 24 negara yang memiliki indeks pembangunan manusia sangat tinggi di dunia. Oleh karena itu, pelarangan iklan dan pencantuman label "Tidak Sehat" bisa memberikan efek pada upaya pencegahan diabetes.

Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Apakah Indonesia juga harus seperti Singapura? Tidak juga, tergantung penyebab diabetes pada negara masing-masing. Memang penderita diabetes di Indonesia sudah mencapai angka 30 juta jiwa dan diperkirakan akan mencapai angka dua kali lipat sepuluh tahun kedepan (BBC News Indonesia).

Namun yang perlu dipelajari dari Singapura adalah upaya pembatasan iklan yang subjektif. Namun, sebetulnya hal tersebut sudah dilakukan oleh Indonesia pada rokok tetapi menurut laporan Southeast Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA) berjudul The Tobacco Control Atlas, Asean Region menunjukkan Indonesia sebagai negara dengan jumlah perokok terbanyak di Asean, yakni 65,19 juta orang atau setara dengan 34% dari total penduduk Indonesia pada 2016 (Databoks).

indonesia-negara-dengan-jumlah-perokok-terbanyak-di-asean-by-katadata-5da37270097f366580017e42.png
indonesia-negara-dengan-jumlah-perokok-terbanyak-di-asean-by-katadata-5da37270097f366580017e42.png
Apakah karena Indeks Pembangunan Manusia Indonesia masih dalam kategori menengah? Sehingga belum cerdas dalam memahami informasi? Lalu apa yang harus dilakukan oleh pemerintah? Pendidikan? Toh, kebanyakan yang tidak memahami informasi adalah orang-orang berpendidikan.

Saya teringat dengan kata-kata Mantan Presiden Zimbabwe, Robert Mugabe. Kira-kira ini: "Rokok adalah sejumput tembakau yang digulung di selembar kertas, dengan api di satu ujung dan orang bodoh di ujung lainnya."

Pedis, kata-kata tersebut. Pasalnya, para pembuat rokok sudah mengingatkan tentang bahaya rokok bagi orang lain dan terutama bagi diri sendiri tetapi masih saja ada yang mengabaikannya.

Nah, rokok sebagai bukti kita tidak percaya pada kejujuran tetapi lebih memilih percaya pada kebohongan.

Saya membayangkan jika seseorang mengalami sakit gusi atau periodontitis yang sangat serius pergi berobat di seorang dokter gigi.

"Bu dokter, saya sedang mengalami periodontitis, saya susah makan Bu dokter" kira-kira seperti itu kalimat pasien.

"Sepertinya ini rekayasa Pak, sepertinya pak ingin bantuan BPJS deh," jawab sang dokter tanpa memeriksa terlebih dahulu.

Atau misalnya seorang pasien mengalami sedikit gangguan sakit gusi yang disebabkan karena cedera bukan virus.

"Bu dokter, sepertinya saya sedang mengalami periodontitis, saya susah makan Bu dokter" kira-kira seperti itu kalimat pasien.

"Ya, penyakit ini sangat serius Pak. Penyakit harus segera ditangani jika tidak berbahaya," jawab sang dokter tanpa memeriksa terlebih dahulu.

Kira-kira itu sekilas gambaran umum tentang Indonesia saat ini. Hoaks disebarkan oleh orang-orang yang memiliki kapasitas dan kemampuan. Mereka memiliki otoritas  yang dapat digunakan untuk membuat orang lain percaya pada rekayasa argumentasi mereka.

Di sisi lain, masyarakat kita dengan cepat mempercayai informasi yang diperoleh tanpa meneliti dan memahaminya terlebih dahulu. 

Seharusnya informasi itu seperti makanan yang dikonsumsi, melewati tahapan dan prosedur yang jelas sebelum nilai gizinya disebarkan oleh usus halus ke seluruh tubuh.

Jika makanan yang dikonsumsi mengandung racun maka setelah masuk ke dalam perut akan menyebar ke seluruh tubuh dan membunuh kita dalam hitungan detik.

Sebelum kita mengambilnya, pertama-tama melewati proses pengamatan oleh indera penglihatan sebelum tangan mengambil dan masuk kedalam mulut.

Indonesia sedang dalam pusaran hoaks yang dengan mudah tersebar dan juga dengan mudah dipercayai karena kedua hal tersebut di atas. Dibuat dan diedarkan oleh orang yang memiliki otoritas dan dipercayai oleh orang yang tidak meneliti dan memahami informasi yang diperoleh.

Ibarat racun dalam nasi goreng, diolah dengan resep dan bumbu kelas dewa dan diberikan dengan gratis kepada orang yang doyan makan nasi goreng. Mustahil jika ia tidak memakannya.

Jika hoaks dibuat oleh orang cerdas dan dipercayai oleh orang cerdas maka kesimpulannya kita miskin orang yang cerdas. Karena kita miskin orang yang cerdas maka kita akan hidup dalam pusaran hoaks.

Apakah ini masalah kecerdasan? Ataukah masalah kesehatan mental?

Salam!!!

Neno Anderias Salukh

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun