Hukum tidak mengenal kuantitas. Berapa banyak lawan yang akan dihadapi tetapi hukum hanya takluk pada dasar kebenaran yang sesungguhnya. Akan tetapi, hukum tetap dilakonkan oleh manusia yang memungkinkan segala sesuatu terjadi.
Oleh karena itu, tidak salah jika penulis menilai kekuatan secara kuantitas. Lawan hukum dari KPU dan TKN dan memungkinkan juga dari Bawaslu menjadi kesulitan bagi kuasa hukum Prabowo-Sandi untuk memenangkan sengketa Pilpres.
Buktinya sudah terlihat ketika Bawaslu menolak BPN dengan pengajuan bukti-bukti kecurangan. Dikatakan, bukti-bukti tersebut tidak valid karena hanya link berita. Seharusnya terdapat video dan foto sebagai bukti kuat yang mendukung link tersebut.
Selain itu, jika kecurangan-kecurangan yang terjadi secara random yaitu terjadi diantara dua kubu maka hanya ada dua kemungkinan. Kemungkinan sengketa ditolak dan dilakukan pemungutan suara ulang di tempat-tempat terjadinya kecurangan.
Kemungkinan-kemungkinan ditolak oleh MK atas dasar kecurangan-kecurangan demikian tidak mengubah hasil pilpres. Selisih puluhan juta suara akan dibandingkan dengan 51 kecurangan. Jika 51 bukti kecurangan benar-benar membawa keuntungan untuk Jokowi-Ma'aruf sebanyak selisih suara maka kemenangan boleh menjadi milik Prabowo-Sandi atau solusi lainnya adalah dilakukan pemungutan suara ulang.
Akan tetapi, jika 51 kecurangan tidak membawa keuntungan sebanyak selisih suara dan ada bukti kecurangan yang dilakukan oleh BPN maka gugatan Prabowo-Sandi akan ditolak secara terhormat.
MK tidak akan memerintahkan dilakukan Pemungutan Suara Ulang yang merugikan negara jika pada akhirnya kemenangan tetap menjadi milik Jokowi-Ma'aruf.
Oleh karena itu, penulis menyimpulkan bahwa selisih suara yang sangat besar akan sulit bagi kubu Prabowo-Sandi untuk memenangkan sengketa Pilpres di MK.
Salam!!!
Referensi: