Mohon tunggu...
Neno Anderias Salukh
Neno Anderias Salukh Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Budaya | Pekerja Sosial | Pengawas Pemilu

Orang biasa yang menulis hal-hal biasa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengenal Kain Tenunan Suku Amanuban

25 April 2019   16:54 Diperbarui: 19 Agustus 2019   13:23 1050
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri: Siswa SMP Negeri Satu Atap Oemasi Desa Mauleum Kecamatan Amanuban Timur mengenakan pakaian adat tenunan Amanuban.


Pakaian merupakan salah satu kebutuhan yang harus dipenuhi. Pakaian berfungsi untuk menutup atau melindungi tubuh. Pada zaman dahulu, daun-daunan, kulit pohon dan kulit hewan digunakan sebagai pakaian yang hanya menutup tubuh bagian tertentu sedangkan di zaman ini, pakaian dibuat lebih baik dengan tampilan yang lebih besar dan lebih baik sehingga menutupi seluruh tubuh.

Seiring dengan perkembangan zaman, berpakaian lebih dari sekadar melindungi tubuh. Pakaian digunakan untuk menampilkan sebuah nilai keindahan maka tak heran jika setiap saat model pakaian pun berubah-ubah baik dari segi warna, desain dan sebagainya disesuaikan dengan selera pasar. Ada yang memilih pakaian karena warna, ada yang memilih karena desain, ada yang memilih karena jenis kain dan lebih dari itu adalah memiliki kualitas yang baik.

Kebanyakan orang tidak akan puas jika pilihan pakaiannya tidak sesuai dengan selera mereka apalagi untuk fashion show atau pakaian untuk pertemuan-pertemuan resmi seperti seragam. Mereka ingin memperlihatkan suatu nilai estetika dari pakaian yang digunakan dan juga digunakan dalam durasi waktu yang cukup lama.

Di era globalisasi ini, pakaian mudah didapatkan di mana-mana dan diproduksi oleh pabrik dengan teknologi canggih. Dibandingkan dengan zaman dahulu, pakaian dibuat sendiri dengan bahan-bahan alam dan alat-alat tradisional. Namun, kualitas pun tidak kalah dengan produksi pabrik bahkan dikatakan lebih baik apalagi ditambah dengan nilai estetikanya.

Walaupun penggunaan teknologi pembuatan pakaian sudah menguasai dunia, produksi pakaian menggunakan alat-alat tradisional pun masih berlaku hingga saat ini. Pakaian yang masih menggunakan alat-alat tradisional adalah pakaian-pakaian adat daerah. Pakaian adat masing-masing suku berbeda, baik dari bahan dan alat yang digunakan serta motif yang di ciptakan. Termasuk salah satu suku di Pulau Timor, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yaitu suku Amanuban.

Pada zaman dahulu, pakaian sehari-hari orang Amanuban adalah kain tenunan. Perempuan mengunakan sarung dan laki-laki menggunakan selimut. Kain tenunan ini dibuat oleh para wanita. Hal ini sudah menjadi hukum dan kewajiban seorang wanita karena salah satu syarat menikah adalah bisa menenun sedangkan laki-laki sudah punya lumbung jagung.

Bahan dasar sarung dan selimut orang Amanuban adalah kapas. Kapas diambil dari hutan lalu dipintal menjadi benang. Kemudian benang diberi warna dengan bahan-bahan alam seperti tuba untuk warna hitam, kunyit untuk warna kuning dan sebagainya.

Letak keindahan tenunan Amanuban ada pada motif dan pilihan warnanya. Tenunan Amanuban punya motif sebagai identitas yang tak pernah berubah dari zaman dahulu yang berbeda dengan suku lain dan memiliki sebuah nilai estetika yang tinggi.

Di zaman modern ini terutama generasi milenial, tenunan bukan lagi pakaian wajib atau sehari-hari. Levis, jeans menjadi pakaian yang dikenakan dalam kehidupan sehari-hari. Pakaian tenunan hanya digunakan oleh para orang tua generasi 50-an dan 60-an.

Tetapi untuk acara-acara adat, pakaian adat wajib bagi peserta seperti upacara pernikahan dan lain sebagainya. Sarung dan selimut di gunakan sebagai bentuk penghormatan kepada nilai-nilai budaya yang terdapat dalam upacara adat yang digelar.

Memiliki nilai estetika dan ekonomis yang tinggi, inilah yang menjadi alasan pakaian tenunan hanya digunakan dalam ritual-ritual adat dan acara-acara resmi walaupun ada beberapa yang masih menggunakannya sehari-hari.

Seringkali pertanyaan yang muncul ketika mengenakan pakaian tenunan adalah "Hom altam hem nao neu me?"

Altam berasal dari kata dasar alat yang berarti adat. Dalam dialeg dan tenses bahasa Dawan khususnya, m sebagai tambahan dan pelengkap. Juga dalam beberapa kata, ada pertukaran dua huruf terakhir seperti kata alat, t dan a bertukar posisi (saya akan bahas di lain waktu).

Pertanyaan di atas berarti "Anda pakai adat untuk ke mana? Atau untuk apa?" Pertanyaan ini menunjukkan kepada kita bahwa mengenakan pakaian ada hanya untuk acara-acara adat dan acara-acara resmi lainnya. Sebab itu, tenunan Amanuban dihargai cukup mahal selain nilai estetika dan ekonomis juga relatif sulit dalam pembuatannya.

Jenis tenunan Amanuban bukan hanya satu tetapi terdapat tiga jenis tenunan yaitu Saeb/Buna, Lotis/Sotis dan Futus. Perbedaannya bukan pada motifnya tapi terletak pada cara pembuatannya karena motif dengan imajinasi dapat memodifikasi menjadi model motif yang baru.

SAEB (BUNA)

Dokpri: Salah satu siswa SMP Negeri Satu Atap Oemasi Desa Mauleum Kecamatan Amanuban yang mengenakan Selimut dari Kain Tenunan Saeb
Dokpri: Salah satu siswa SMP Negeri Satu Atap Oemasi Desa Mauleum Kecamatan Amanuban yang mengenakan Selimut dari Kain Tenunan Saeb

Saeb atau Buna adalah salah satu kain tenunan Amanuban dengan teknik pembuatan paling sulit dan membutuhkan durasi yang cukup lama. Motifnya dibentuk dengan cara mengikat benang lain pada benang dasar. Teknik ini hampir sama dengan bordir.

Benang yang digunakan untuk mengikat bermacam-macam warna tergantung selera penenun. Ada warna merah, putih, biru, hijau, kuning dan lain sebagainya. Sedangkan benang dasarnya berwarna hitam. Biasanya, semua warna digunakan dalam satu tenunan sehingga kebanyakan mereka menyebut tenunan Amanuban adalah kain pelangi.

Oleh karena teknik pembuatannya yang relatif sulit dan membutuhkan durasi waktu yang cukup lama, Saeb atau Buna merupakan tenunan Amanuban yang yang memiliki nilai jual paling mahal. Ada yang dihargai dengan jutaan rupiah per lembar.

Dalam sebuah sarung atau selimut (Saeb), biasanya dibuat dari tiga potong kain tenunan. Dua kain dengan model motif dan ukuran yang sama sedangkan salah satunya berbeda motif dan ukuran. Biasanya, yang satu ini memiliki ukuran lebih besar dan posisinya ada di bagian tengah diapit oleh dua model yang sama tersebut yang disebut dengan kain induk.

Dua lembar kain dibuat dengan benang dasar berwarna pelangi tergantung selera penenun lalu diselingi dengan satu-satu rangkaian motif yang berwarna-warni sedangkan kain induk dengan benang dasar hitam dipenuhi dengan Saeb atau ikatan benang yang lain.

FUTUS

Dokpri: Salah satu siswa SMP Negeri Satu Atap Oemasi Desa Mauleum Kecamatan Amanuban Timur yang mengenakan selimut dari tenunan Futus
Dokpri: Salah satu siswa SMP Negeri Satu Atap Oemasi Desa Mauleum Kecamatan Amanuban Timur yang mengenakan selimut dari tenunan Futus

Selain Saeb, ada yang disebut dengan Futus. Futus dalam bahasa Dawan berarti ikat tetapi memiliki makna yang berbeda dengan teknik mengikat pada Saeb atau Buna.

Futus merupakan salah satu kain tenunan yang hanya menggunakan satu warna. Kebanyakan dari para penenun menggunakan benang berwarna putih tapi kadang ada yang menggunakan warna oranye dan ungu.

Benang dasar ini diikat mengunakan karung goni yang dicabik-cabik dan juga ada yang menggunakan daun gewang yang dikeringkan terlebih dahulu sehingga menjadi tali yang kuat. Motifnya dibentuk oleh ikatan-ikatan tersebut.

Berdasarkan motifnya, Futus ini terdiri dari dua bagian yaitu Kaif (Naek dan Mnutu) dan Pan Buat. Kaif dalam bahasa Dawan berarti pengait dengan bentuk melingkar di ujung. Misalnya, sebuah besi yang dilipat ujungnya disebut Kaif sedangkan Naek berarti besar dan Mnutu berarti kecil. Pan berarti ujung dan Buat berarti melilit seperti mengikat rambut tanpa tali ikatan untuk menggunakan tusuk konde. Pan Buat sendiri sama halnya dengan Kaif tetapi lipatan ujungnya berbentuk lingkaran atau lebih melingkar di bandingkan dengan Kaif.

Dokpri: Motif Futus Kaif Mnutu
Dokpri: Motif Futus Kaif Mnutu

Nah, Benang yang sudah diikat, dicelupkan kedalam air yang sudah dicampur dengan bahan pewarna. Biasanya, bahan pewarna itu berwarna hitam yang berasal dari tuba atau wantek. Setelah dicelupkan, dikeringkan terlebih dahulu lalu dibuka tali ikatan-ikatan tersebut yang akan membentuk motif. Warna hitam kembali menjadi warna dasar sedangkan putih menjadi warna motifnya.

Sarung atau selimut yang terbuat dari tenunan Futus terdiri dari dua kain tenunan yang dijahit menjadi satu. Akan tetapi, Futus juga dapat dikombinasikan dengan Buna dimana ada bagian yang dikosongkan saat proses pengikatan. Bagian ini biasanya berbentuk persegi lalu bentuk Saeb diletakkan di bagian tersebut. Kemudian untuk membuat sarung dan selimut dari kombinasi tersebut, prosesnya sama dengan Saeb atau Buna.

LOTIS (SOTIS)

Dokpri: Salah satu siswa SMP Negeri Satu Atap Oemasi Desa Mauleum Kecamatan Amanuban Timur mengenakan selendang Lotis
Dokpri: Salah satu siswa SMP Negeri Satu Atap Oemasi Desa Mauleum Kecamatan Amanuban Timur mengenakan selendang Lotis
Lotis atau Sotis, nama untuk kain tenunan yang satu ini. Di Amanuban Selatan disebut dengan Lotis sedangkan di Amanuban Timur disebut dengan Sotis. Karena saya adalah orang Amanuban Selatan maka dalam tulisan ini saya menggunakan kata Lotis.

Walaupun memiliki sebutan yang berbeda tetapi tetap memiliki arti yang sama yaitu "Mencungkil". Makna mendalamnya adalah memisahkan dari bagian lainnya. Misalkan mencungkil asam, yang berarti memisahkan biji dari isinya. Namun, Lotis disini berarti memisahkan tetapi tetap berada dalam satu kesatuan. 

Lotis merupakan salah satu kain tenunan yang dianggap paling gampang dan paling cepat dibuat oleh para penenun. Untuk ukuran yang kecil seperti selendang, bisa diselesaikan dalam waktu dua atau tiga hari sedangkan ukuran yang lebih besar paling lambat hanya satu minggu.

Lotis juga merupakan tenunan yang paling irit biaya karena hanya menggunakan benang dasar tanpa ikat dan bahan pewarna. Biasanya, benang dasar Lotis berwarna pelangi tetapi beberapa bagian yang dibuat dengan ukuran yang lebih luas untuk membentuk motifnya. Oleh karena itu, Lotis menjadi pilihan banyak orang untuk dibuat.

Benang dasar pelangi ini dicampur dengan benang dasar hitam atau putih. Tujuannya agar pembuatan motifnya lebih gampang dan terlihat. Benang warna akan dipisahkan dari benang hitam atau putih dengan corak tertentu yang kemudian ketika benang dirapatkan membentuk sebuah motif.

Membutuhkan dua tenunan untuk membuat sarung dan selimut. Dua tenunan tersebut dibuat dengan ukuran, warna dan motif yang sama sehingga ketika disatukan terlihat satu dan indah.
***

Selain sarung dan selimut, tenunan-tenunan tersebut bisa digunakan untuk selendang dengan ukuran yang sesuai, untuk ikat pinggang dan juga pembuatan tas samping.

Dokpri: contoh tas dari motif Lotis
Dokpri: contoh tas dari motif Lotis

Sejak zaman dahulu, setiap perempuan diwajibkan untuk bisa menenun sebagai syarat utama menikah. Namun, generasi milenial saat ini sudah tidak mengenal syarat tersebut. Akibatnya, regenerasi penenun di Amanuban hampir tidak ada. Diperkirakan 20 tahun kedepan dengan tidak adanya regenerasi penenun, dipastikan bahwa tenunan akan punah.

Merupakan sebuah sukacita ketika Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) yang baru, Viktor Laiskodat membuat Perda baru bahwa semua Perempuan NTT harus bisa menenun. Saya percaya ini menjadi titik bangkit bagi masyarakat NTT khususnya Amanuban untuk memelihara budaya, adat istiadat dan terlebihnya kain tenunan Amanuban.

Koleksi model motif yang lain dan terbaru bisa dilihat melalui Instagram

Salam!!!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun