"Wah, cantiknya, sang Penari!" Bi Ade memuji hasil riasannya.
Aku hanya tersenyum hambar. Alunan musik semakin keras memekakkan telinga. Semakin malam, penonton semakin membludak, hingga pohon pun tak luput dijadikan ajang tempat duduk. Mungkin karena daerah ini terpencil, maka peringatan agustusan dirayakan secara meriah, dan menjadi tontonan langka.
"Ah, gara-gara Kak Asti sakit, sih! Aku harus menggantikannya menari!" rutukku dalam hati,
Duh, gimana, nih? Aku belum pernah tampil di atas panggung seperti kakakku, yang telah menari di berbagai kota. Aku hanya suka melihatnya menari, dan menirukan sekenanya. Aku merasa, tak berbakat menari. Gerakanku tak seluwes Kak Asti.
Dan kini, aku harus menggantikan posisinya menari di kota Garut yang belum pernah aku singgahi! Kalau tidak karena ibuku yang memohon padaku, aku tak mau menuruti ide gila ini!
Acara demi acara berlangsung begitu cepat, hingga akhirnya, pembawa acara menyebut namaku
"Hadirin yang berbahagia, dengan bangga kami tampilkan tarian klasik Sekar Puteri yang akan dipersembahkan oleh penari terkenal dari Kota Tasikmalaya, yang baru duduk di kelas dua SD! Inilah Ananda Ratih Kumala Dewi!'
Gemuruh tepuk tangan penonton serasa merontokkan jantungku. Aku sangat gugup! Sinar lampu yang benderang dan menyala berwarna-warni semakin membuatku lupa gerakan tarian yang telah kuhafal! Aku harus melakukan apa? Kutatap Mang Yaya dan kru, yang mulai memainkan musik pengiring, seakan tak peduli dengan penarinya ini.
Dalam kebingungan, sebuah tepukan halus mendarat di pundakku. Refleks aku menoleh. Kulihat samar, seorang penari berkostum hijau senada dengan yang kukenakan, tersenyum dan mengisyaratkan aku agar maju ke panggung.
"Ayolah, kita menari bersama!" ujarnya dengan suara halus merdu.
Aku merasa heran. Mang Yaya tak pernah memberitahuku bahwa aku akan menari berdua, tapi segera kutepis pikiran itu. Mungkin Mang Yaya tak yakin dengan kemampuanku, hingga mengutus penari lain untuk menemaniku.
Pantas saja beliau mengatakan aku pasti bisa! Ternyata, ini lho. maksudnya!
Aku tak sempat mengangguk, tiba-tiba saja aku sudah masuk ke panggung. Suara musik pengiring mengalun, dan kulihat anak itu sudah mulai menari. Aku tersadar, segera kuikuti gerakannya yang lemah gemulai. Rasa gugup perlahan sirna, tubuhku mulai meliuk seirama. Kami bagaikan sepasang penari kembar! Wajahnya dan tubuhnya persis sepertiku, hanya saja dia lebih pendek dariku dan kulitnya terlihat pucat.
Aku dan dia menari dengan penuh perasaan. Senyuman tak pernah lepas dari bibir kami, menggambarkan puteri keraton yang anggun memesona semua mata. Berkali-kali tepuk tangan bergemuruh, saat kami melakukan gerakan-gerakan yang indah. Hm, senang rasanya! Aku merasa, akulah penguasa panggung malam itu! Mungkin inilah yang dirasakan kakakku. Aku harus lebih rajin lagi berlatih, agar menjadi penari seperti kakak, batinku.
Tak terasa alunan musik berhenti seiring tarian pun selesai. Gemuruh dan sorak sorai penonton terdengar. Kulirik pasanganku yang tersenyum ke arahku, kubalas senyumannya dengan penuh rasa terimakasih. Setelah memberi hormat penonton, aku segera berlari ke belakang panggung. Kukira dia mengikutiku, tapi entahlah, tiba-tiba dia menghilang, mungkin dia berlari ke arah yang berlawanan denganku.