Siang ini, Kamis 1 September 2022, saya ada agenda kegiatan di Gelanggang Olahraga Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Untuk bisa sampai ke sini, biasanya saya naik KRL lalu turun di Stasiun Pasar Minggu. Jalan kaki deh. Jaraknya cukup dekat. Hanya 200 meter saja.Â
Kebetulan, tadi saya ada urusan di SD dan SMP anak saya. Mau mengurus ijazah anak saya yang ada kesalahan penulisan tempat lahir. Kebetulan sekolahnya berdampingan.Â
Jadi, setelah urusan selesai, saya tinggal jalan kaki ke arah jalan Siliwangi, naik angkot apa saja ke Stasiun Depok Baru, naik KRL deh.
Tapi tiba-tiba pikiran saya berubah. Kenapa tidak langsung naik angkot coklat M04 tujuan Pasar Minggu saja? Daripada naik turun angkot dan naik turun tangga stasiun. Â Tidak macet juga karena masih siang. Kecuali kalau sore nah baru deh "horor".Â
Kalau dihitung-hitung, ongkosnya sama juga. Ke terminal Depok tarifnya Rp3000, naik KRL sampai Pasar Minggu Rp3000, jadi Rp6000. Kalau pun beda, selisihnya paling juga Rp1000 - Rp2000.Â
Saya pun naik M.04. Karena saya duduk di belakang supir, jadi obrolan supir dengan penumpang di sampingnya terdengar oleh saya. Karena obrolannya mengenai BBM bersubsidi yang harganya naik, saya pun ikut menimpali dan berkomentar. Isu yang aktual.
Dari obrolannya, supir mengeluhkan kenaikan harga BBM bersubsidi semalam, pada pukul 00.00 teng. Berarti, tepat pada pergantian hari, "diam-diam" pemerintah menaikkan harga BBM. Begitu, katanya.
"Memang benaran sudah naik pak?" tanya saya.
"Semalam Bu, naiknya. Jam 12 malam. SPBU-SPBU semalam dipenuhi kendaraan, antriannya sampai ke jalan-jalan," katanya.
Kalau sekedar BBM harganya naik sih tidak masalah. Persoalannya, pasti merembet ke mana-mana. Imbas langsungnya sudah pasti tarif angkot naik. Jadi, dia pun menaikkan tarif Rp2000 per penumpang.Â