Tidak lupa, anak-anak membawa kartu vaksin yang sudah saya laminating. Di sekolah anak-anak sebenarnya juga sudah ada papan scan aplikasi PeduliLindungi. Cuma anak-anak saya tidak bawa hp, jadi bawa bentuk fisiknya.
"Jangan sampai hilang ya, Nak," kata saya.
Anak-anak pun diantar oleh suami dengan naik mobil pada pukul 06.30 WIB. Semoga saja tidak terlambat mengingat sudah bisa dipastikan di jalanan akan merayap karena semua berangkat sekolah.
Di group, wali kelas membagikan video suasana sekolah. Kalau saya perhatikan dari video, siswa masuk ke sekolah dari dua titik, yaitu dari pintu utama dan dari pintu samping dekat masjid sekolah guna menghindari terjadinya kerumunan.
Anak-anak mengantre dengan berbaris rapi dan berjarak. Di pintu masuk anak-anak harus scan QR aplikasi PeduliLindungi, setelah itu mencuci tangan, cek suhu. Jika suhu tubuh normal, baru diperbolehkan masuk.
Saya tidak tahu, berapa proses screening untuk semua siswa. Jika satu siswa kira-kira membutuhkan 5 menit, berapa lama itu ya? Apakah belajar pada pukul 07.00 sesuai dengan jadwal atau tidak? Entahlah.Â
Tidak hanya saya saja yang menyambut antusias pelaksanaan PTM 100 persen ini. Setidaknya, dari group whatsapp saja, hampir semuanya menyatakan mendukung. Bahkan, tidak sedikit yang mengaku bisa kembali bernapas lega.
"Akhirnya, anaknya bisa lebih fokus dan mudah memahami pembelajaran. Bisa bertanya langsung ke gurunya yang lebih paham," katanya.
"Saya lebih suka PTM. Soalnya kalau di rumah khawatir anak tidak paham penjelasan dari video. Kalau PTM kan guru bisa menjelaskan langsung. Anak juga senang karena bisa ketemu dengan temannya," ucap yang lain.
Sekolah anak saya yang kecil, SDN Depok 1, Pancoran Mas, termasuk salah satu sekolah percontohan untuk PTM di Kota Depok. Persiapan yang matang untuk menyambut PTM 100 persen, terlihat di sekolah ini.
Jalur keluar masuk dibedakan untuk menghindari kerumuman siswa selama di sekolah. Tersedia juga tempat mencuci tangan di setiap kelas. Ada juga cek suhu standing dengan mengarahkan telapak tangan.