Mohon tunggu...
Neneng Maulyanti
Neneng Maulyanti Mohon Tunggu... Dosen - perempuan

pensiunan PNS dan dosen

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pewarisan Nilai Budaya Jepang (Bagian Terakhir)

19 November 2021   15:00 Diperbarui: 19 November 2021   15:02 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sikap patuh hukum yang merupakan proyeksi dari nilai kebenaran (Rectitude/right decision) tercermin dari sikap-sikap orang Jepang yang begitu tertib dalam bermasyarakat. 

Penghargaan (Respect) yang terdeteksi dari kebiasaan memperhitungkan kenyamanan pihak lain, kejujuran (hontesty) dan kehormatan/harga diri (Honor) dan kesetiaan (loyalty) yang terdeteksi dari sikap kisah karyawan yang menolak diajak makan dengan menggunakan kartu peserta training di tempatnya bekerjanya, merupakan bukti kongkrit bahwa nilai moral bushido yang diwariskan para samurai, mampu bertahan hingga sekarang meskipun bangsa Jepang telah banyak menyerap nilai-nilai budaya asing.

Keragaman sikap dan perilaku bangsa Jepang yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, merupakan indikator yang memperlihatkan bahwa nilai-nilai bushido sudah terinternalisasi dengan baik di dalam diri, dan membentuk karakter mereka. Individu yang di dalam dirinya terpersonalisasi nilai-nilai bushido, merupakan sosok manusia yang memiliki kepribadian unggul. 

Kepribadian yang mampu menghadapi perubahan sosial, dan tantangan zaman. Karakter bangsa Jepang yang seperti itu, ternyata melahirkan suatu kesatuan gerak langkah menuju masa depan, dan merupakan pilar-pilar kokoh dalam membangun bangsa dan negaranya. 

Begitu banyak pujian dari bangsa lain terkait karakter bangsa Jepang, sementara itu, bangsa Jepang sendiri tidak merasa, bahwa pola pikir dan sikap mereka  menunjukkan kekuatan kepribadian yang layak mendapat pujian, dan mereka merasa bahwa cara-cara mereka dalam mengisi kehidupan merupakan hal yang tidak istimewa. Implikasinya adalah bahwa sikap dan perilaku mereka bukan untuk menghindari sanksi eksternal atau keinginan untuk dipuji oleh pihak lain, tetapi memang sudah merupakan sesuatu yang biasa bagi mereka.

Melihat program-program pemerintah Jepang di bidang pendidikan non formal, memberi gambaran bahwa pembinaan kepribadian/karakter menduduki tempat teratas dibandingkan pendidikan keterampilan, misalnya mengenai pembukaan ‘desa harapan’ dan ‘membuka kesempatan siswa SMA untuk berhubungan dengan balita’. 

Program-program seperti ini merupakan metoda bermain peran (role play) dalam bentuk nyata, dan sangat efektif dalam mengembangkan kepribadian siswa, sekurang-kurangnya mengembangkan empati (empathy), penghargaan (respect), tanggung jawab (responsibility), kerja sama (cooperation), dan keterbukaan (fairness). 

Ditambah dengan pelibatan siswa dalam berbagai perayaan budaya atau hari besar Jepang, merupakan upaya transmisi nilai-nilai budaya leluhur mereka, sehingga meskipun mereka menyerap nilai-nilai dari barat akan tetapi nilai-nilai tradisional tetap dominan. 

Hal ini menunjukkan bahwa pewarisan budaya berjalan dengan sangat baik, dan dibarengi dengan upaya penyesuaian-penyesuaian dengan perubahan sosial masyarakat Jepang dari masa ke masa.

Berdasarkan tinjauan dengan perspektif teori-teori pendidikan, dapat dikatakan baik pendidikan formal, informal dan non-formal di Jepang bersinergi satu dengan lainnya, dan menjadikan institusi pendidikan menjadi wahana transformasi sistem nilai budaya. 

Dengan konfigurasi pendidikan seperti itu ditambah perhatian besar yang diberikan pemerintah bagi pendidikan, maka dapat dipahami mengapa sistem nilai budaya Jepang begitu kuat dan tidak goyah di tengah derasnya arus globalisasi. 

Nilai-nilai budaya asing yang masuk ke Jepang bukan hanya melekat di permukaan sistem nilai budaya mereka saja, bahkan nilai budaya asing yang masuk telah memperkaya sistem nilai budaya yang sudah ada. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bangsa Jepang telah berhasil membina kepribadian generasi penerus mereka dan berhasil pula melakukan transformasi sistem nilai budayanya melalui pendidikan.

Pada dasarnya, pendidikan mengandung pengertian yang sangat luas, menyangkut seluruh aspek kepribadian manusia. Pendidikan berkaitan dengan hati nurani, nilai-nilai, perasaan, pengetahuan dan keterampilan. 

Melalui pendidikan, manusia berusaha untuk meningkatkan dan mengembangkan serta memperbaiki nilai-nilai, hati nuraninya, perasaannya, pengetahuannya, dan keterampilannya. Di masa kini, guru dan orang tua Jepang menerapkan gaya psikologi humanistik yang dikombinasikan dengan gaya behavioristik dalam mendidik anak. 

Dengan kata lain, pendidikan dikondisikan sedemikian rupa secara sistematis, yang menekankan pada kebebasan personal, pilihan, kepekaan, dan tanggung jawab personal, agar peserta didik memiliki fondasi dalam mengembangkan minat dan bakatnya di bidang yang disukai, serta disesuaikan dengan tingkat kematangan kepribadian anak.

Di samping mata pelajaran pokok yang wajib dipelajari siswa di sekolah, siswa diberi kebebasan memilih mata pelajaran tambahan yang sesuai dengan minat dan bakatnya. Adapun budi pekerti yang berkaitan dengan pembinaan moral dijadikan ruh/inti dari kegiatan pendidikan. 

Dengan demikian, pembinaan moral dan pewarisan budaya bersifat praktis dan bukan bersifat teoretis, yang prosesnya dijalankan secara simultan dan berkesinambungan, baik dalam pendidikan informal, non formal, maupun formal. Dengan cara seperti itu, maka dapat dipahami mengapa bangsa Jepang selain sangat ahli dalam bidangnya, juga kokoh dalam memegang tradisi yang sarat nilai-nilai humanis.

Apa yang bisa kita petik dari keberhasilan bangsa Jepang dalam membentuk karakter unggul? Tentu saja kita tidak mungkin mengadopsi nilai budaya bushido, karena meski nilai moral bushido merefleksikan suatu budaya dengan tingkat humanis yang tinggi, namun nilai moral bushido selain belum tentu sesuai dengan corak masyarakat Indonesia, juga bangsa Indonesia memiliki nilai moral budaya sendiri yang tak kalah bagusnya, yaitu nilai moral Pancasila dan nilai-nilai universal yang merupakan kumpulan dari nilai budaya dan nilai agama yang dianut mayoritas bangsa Indonesia.

Melihat dari perjalanan sejarah terbentuknya Pancasila, dapat dikatakan bahwa orang yang merumuskan Pancasila tentulah memiliki cita-cita luhur, yakni merangkul seluruh masyarakat Indonesia yang majemuk ke dalam satu ikatan, satu kesatuan yang dapat dijadikan benteng dalam menangkis berbagai intimidasi dan eksploitasi dari luar, serta dapat menjadikan perbedaan sebagai energi dalam mencapai kehidupan masyarakat Indonesia yang sejahtera. 

Apabila nilai-nilai yang dibawakan oleh Pancasila dan nilai-nilai universal tersebut dapat larut di dalam karakter bangsa Indonesia, maka manusia Indonesia terbebas dari sifat antisosial, rasis, dan primordialis. Oleh karena itu, tidak ada ruginya bangsa Indonesia mengadopsi sistem pendidikan Jepang yang telah berhasil dalam melahirkan manusia-manusia Jepang yang tangguh. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun