Cahaya mentari pagi menerobos jendela. Bayangan seorang gadis tercipta di lantai karenanya. Sudah dua jam ia menatap matahari yang meninggi, atau mungkin hanya sekedar menatap kosong ke luar jendela.
Tubuhnya dibungkus piyama rumah sakit. Tangannya menggenggam rangkaian bunga palsu berwarna oren dan kuning. Wajahnya sendu, matanya redup dan kerutan yang seharusnya belum ada di wajahnya mulai terlihat meski tipis.
Sudah dua minggu dia berada di rumah sakit itu. Seminggu ia habiskan dengan berbaring sembari bertarung antara hidup dan mati. Seminggu lagi ia habiskan hanya dengan termenung seharian di depan jendela.
Dua perawat datang membawa beberapa pil obat, tersenyum ramah menyapa.
"Kalau yang kalian bawa bukan pil yang ku inginkan kemarin, aku akan tetap menolak untuk meminumnya. Tak usah membujuk, jawabanku akan tetap sama. Jangan juga memaksa, kalian tidak mau kan ditegur karena membuat barang-barang di ruangan ini rusak oleh pasien?"
kedua perawat yang baru ditugaskan satu minggu itu menurut. Tanpa mengucap sepatah kata, mereka meninggalkan tempat. bukan karena malas membujuk. Namun baru kemarin, seorang perawat yang lebih senior dilarikan ke UGD, dahinya robek dan dijahit 7 jahitan karena memaksa gadis itu minum obat.
Gadis itu kembali menatap kosong jendela. Matahari sudah sedikit meninggi. Suara-suara yang ia dengar selama koma kembali mensesaki kepalanya.
"kalau saja ambulan bisa datang lebih cepat mungkin kedua orang tuanya bisa selamat."
"kasian sekali, kejadiannya tepat di hari kelulusannya."
"ia seharusnya sekarang sudah menjadi dokter di rumah sakit ini, bukan sebagai pasien"
Dua tetes air mata gadis itu mengaliri pipinya yang tirus karena mogok makan. Genggamannya pada rangkaian bunga palsu itu mengerat.