Mohon tunggu...
Negara Baru
Negara Baru Mohon Tunggu... Freelancer - Tentang Saya
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Memberi Sudut Pandang Baru Negara Kita

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Darurat Sipil: Hikayat Junta Tentara Corona

2 April 2020   13:22 Diperbarui: 2 April 2020   18:52 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penyemprotan. Ayobandung.com


Pada awalnya, yakni 2 Maret 2020 kasus Covid-19 di tanah air hanya mengenai dua orang. Kini, 1 April 2020, penyebaran virus meningkat tajam menjadi 1677 kasus. 103 orang dinyatakan sembuh, namun 157 orang telah meninggal dunia.

Penyebaran virus susah untuk dikendalikan. Apalagi masih banyak orang yang membandel dan tak memperdulikan arahan pemerintah untuk menerapkan Physical Distancing. Atas dasar itulah, pada 30 Maret 2020, Presiden Joko Widodo menyatakan akan memberlakukan Pembatasan Sosial Skala Besar (PSSB). Lewat video conference dari Istana Bogor, Jokowi mengatakan apabila PSSB gagal memutus penyebaran virus corona, maka ia akan mengaktifkan darurat sipil.

Sumber :   Kompas [Jadi Opsi Terakhir, Ini Penjelasan Darurat Sipil dalam Konteks Bencana]

Memang darurat sipil menjadi opsi terakhir dalam penanganan Covid-19. Akan tetapi, seandainya skenario terburuk terjadi maka mau tidak mau RI akan tetap memberlakukan situasi Darurat Sipil.

Ketentuan mengenai Darurat Sipil sendiri tertuang dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. Keadaan Bahaya itu memiliki tiga tingkatan, mulai dari Darurat Sipil, Darurat Militer, hingga Darurat Perang.

Menurut Pasal 3 Ayat 2 Perppu tersebut, diaturlah susunan kabinet dalam keadaan darurat. Presiden akan dibantu oleh :

  • Menteri Pertama;
  • Menteri Keamanan/Pertahanan;
  • Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah;
  • Menteri Luar Negeri;
  • Kepala Staf Angkatan Darat;
  • Kepala Staf Angkatan Laut;
  • Kepala Staf Angkatan Udara;
  • Kepala Kepolisian Negara.

Kita dapat melihat bersama susunan kabinet saat Keadaan Darurat terdiri atas 3 pihak dari fungsi sipil (Menteri Pertama, Mendagri, Menlu) dan 5 pihak dari fungsi militer (Menhan, KSAD, KSAL, KSAU, dan Kapolri). Sebagai informasi, Menhan masuk ke dalam fungsi militer karena pada era itu jabatan Menhan diisi oleh Pangab (Panglima Angkatan Bersenjata/Panglima TNI). Menhan yang merangkap Pangab, membawahi seluruh intelijen, dan 3 posisi Kepala Staf TNI.

Protokol Keadaan Darurat yang diterbitkan oleh Presiden Soekarno pada Tahun 1959 itu didominasi oleh militer. Namun hal tersebut wajar karena Indonesia era 1955-1959 dihadapi berbagai gelombang pemberontakan seperti DI/TII, PRRI/Permesta, dan RMS. Oleh karena itu, keadaan darurat yang tercantum dalam Perppu Nomor 23 Tahun 1959 lebih tepat dikatakan untuk Darurat Militer ketimbang Darurat Sipil. Selain itu, Perppu tersebut tidak membedakan secara gamblang antara Darurat Sipil dengan Darurat Militer.

Padahal apabila pemerintah ingin menerapkan Darurat Sipil dalam konsep negara modern, maka porsi fungsi sipil haruslah mendominasi atau lebih banyak dari fungsi militer. Wujudnya dalam bentuk koordinasi antara fungsi sipil dengan fungsi aparat. Yakni Kemenlu berkoordinasi dengan badan intelijen, Kemendagri berkoordinasi dengan Kepolisian, dan Kemenhan berkoordinasi dengan pihak militer.

Sehingga susunan kabinet yang ideal dalam darurat sipil adalah :

  • Presiden
  • Menlu
  • Mendagri
  • Menhan
  • Kepala Intelijen (BIN)
  • Kepala Kepolisian (Kapolri)
  • Militer (Panglima TNI)

Berdasarkan model tersebut, maka ada keseimbangan antara fungsi Pemerintah (Kemenlu, Kemendagri, dan Kemenhan) dengan fungsi aparat (BIN, Polri, dan TNI). Model tersebut juga mendahulukan atau lebih mengutamakan porsi dari 4 fungsi aparatur sipil (Menlu, Kepala BIN, Mendagri, Kapolri) dibandingkan 2 fungsi militer (Menhan, Panglima TNI).

Sehingga pantaslah disebut dengan Darurat Sipil karena porsi jabatan yang berfungsi dalam keadaan tersebut didominasi oleh sipil.

Maka kita pun dibuat bertanya-tanya atas alasan istana untuk memberlakukan Darurat Sipil berdasarkan Perppu Nomor 23 Tahun 1959 apabila PSSB gagal dalam menekan penyebaran virus Covid-19. Sebab Perppu itu lebih cocok diterapkan dalam keadaan Darurat Militer.

Apabila Presiden Jokowi akan menerapkan Darurat Sipil merujuk pada Perppu Nomor 23 Tahun 1959 maupun regulasi barunya tetap menggunakan porsi yang sama, maka Pemerintahan Darurat Sipil nantinya akan berjalan tanpa intelijen negara. Sebab sejak era reformasi, jabatan Kepala BIN tidak lagi berada di bawah Pangab/Panglima TNI melainkan melapor langsung pada Presiden. Sehingga nantinya Kabinet hanya mengandalkan Badan Intelijen Strategis (BAIS) milik TNI dan Satuan Intelijen dan Keamanan (Intelkam) milik Polri. Kedua institusi tersebut tidak melapor langsung ke Presiden, informasi intelijen harus melewati Menhan dan Kapolri terlebih dahulu. Selain itu, komando Menhan kepada 3 Kepala Staf TNI juga dilakukan tanpa melalui Panglima TNI.

Dengan kata lain, saat keadaan Darurat Sipil nanti, Kepala BIN yang menjadi pimpinan dunia intelijen Indonesia dan Panglima TNI yang seharusnya menjadi pucuk pimpinan militer tidak memiliki pengaruh atau kekuasaan apapun.

Hal yang tak kalah menariknya adalah ketika Presiden Soekarno memberlakukan Perppu Nomor 23 Tahun 1959. Lewat Perppu tersebut ia dapat membubarkan MPR/DPR yang saat itu masih menginginkan Indonesia dalam bentuk RIS. Sehingga dimulailah Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dimana kekuasaan Parlemen berada di bawah Presiden. Bahkan Presiden Soekarno ditetapkan sebagai presiden seumur hidup melalui Tap MPRS No. III/MPRS/1963.

Kemungkinan keadaan tarik menarik kepentingan politik sejak diberlakukannya Perppu Nomor 23 Tahun 1959 inilah yang menyebabkan meletusnya revolusi 1965. Selepas pemberontakan G30S-PKI, MPRS mengadakan Sidang Umum yang dipimpin oleh AH Nasution dan menghasilkan berbagai keputusan seperti Tap No. IX/MPRS/1966 tentang pengukuhan Supersemar dan Tap No. XVIII/MPRS/1966 yang mencabut Tap MPRS tentang jabatan presiden seumur hidup Soekarno. Namun penarikan ketetapan ini tidak mempengaruhi masa jabatan Presiden Soekarno sampai ada keputusan lain dari MPR hasil pemilihan umum. Rangkaian ketetapan itulah yang menyebabkan peralihan kekuasaan antara Presiden Soekarno ke Letjen Soeharto hingga pemilu selanjutnya.

Sumber : Kompas [Perubahan Masa Jabatan Presiden, Ini 5 Usulan sejak Periode Soekarno]

Pemilu 1971 adalah pemilu pertama di era Orde Baru. Kemungkinan besar Soeharto tidak akan lagi dipilih untuk meneruskan jabatan Presiden. Namun seperti kita ketahui, di Pemilu ini muncul pertama kali Golkar sebagai ormas yang menjadi kendaraan politik Soeharto dan Orde Baru. Ditambah lagi, ABRI dengan berbagai jaringannya, PGRI, pegawai negeri, serta birokrasi di semua tingkat menjadi alat untuk memobilisasi rakyat dari kota sampai ke desa untuk memilih Golkar. Alhasil kemenangan mutlak Golkar di Pemilu 1971 dan sejak itu dimulailah Junta Militer Orde Baru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun