Mohon tunggu...
Nimas Cindy M. A.
Nimas Cindy M. A. Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Ilmu Komunikasi UMY

Hello there! I hope you enjoy reading the posts on my blog

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Semangat Tak Terbatas dari Suami Istri Penyandang Disabilitas

9 Desember 2021   00:07 Diperbarui: 9 Desember 2021   00:37 799
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rohmad Setiawan dan Wahyu Suthiyana (28/11/2021) (Dokumentasi Pribadi Nimas Cindy)

Memiliki keterbatasan fisik tidak mematahkan semangat Rohmad Setiawan dan Wahyu Suthiyana, pasangan suami istri penyandang disabilitas yang berjualan wingko babat di Jalan Malioboro Yogyakarta. Mereka saling melengkapi mencari rezeki untuk kebutuhan sehari-hari.

Pasangan suami istri yang tinggal di daerah Kasongan, Bantul, Yogyakarta ini setiap hari membawa barang dagangannya menyusuri Jalan Malioboro naik kursi roda. Kursi roda digunakan oleh sang istri yang akan didorong sang suami. Rohmad memiliki keterbatasan dalam penglihatannya, dia menjelaskan hanya bisa melihat dengan jelas pada jarak pandang kurang lebih 3 meter saja. Sedangkan Wahyu Suthiyana atau yang biasa dipanggil Kiki memiliki keterbatasan dalam berjalan. Rohmad dan Kiki mengalami disabilitas sejak masih kecil. Kiki lahir prematur dan saat masa pertumbuhan kondisi fisiknya memburuk hingga mengalami kelemahan saraf motorik. 

Mereka saling melengkapi untuk berjualan bersama dengan cara sang suami yang bisa berjalan tetapi penglihatannya tidak berfungsi dengan normal yang akan mendorong kursi roda dan sang istri  yang bisa melihat tetapi tidak bisa berjalan akan menjadi penunjuk arahnya.  

"Boleh dicoba dulu, ini ada testernya gratis. Ini tuh wingko babat dari kelapa, gula, sama ketan. biasanya kan pake tas kantong gini, tadi tasnya kehabisan, kalo mau semua nanti digabungin satu tas isi 10 harganya 25 ribu. Dijamin baru, awet sampai seminggu di suhu ruangan aja." Jelas kiki yang sedang menawarkan dagangannya.

Mereka berjualan bersama setiap hari, berangkat dari rumah mengendarai sepeda motor dengan roda tiga agar bisa membawa kursi roda. Sekitar pukul 8 pagi mereka mulai berjualan membawa dagangannya yaitu wingko babat mengelilingi Jalan Malioboro diselingi beberapa saat sambil duduk di bangku-bangku yang tersedia di sana. Lalu, sekitar pukul 11 siang, mereka pulang ke rumah untuk beristirahat. Setiap harinya mereka membawa 100 pcs wingko babat yang biasa dijual per kantong, tetapi bisa juga dijual satuan jika ada yang ingin membeli satuan. Setiap kantongnya berisi 10 pcs wingko babat yang dijual dengan harga Rp25.000.

"Kita jualan tiap hari, dari pagi, sampe sini paling pagi itu jam setengah 8 sampe habis, ga tentu jamnya kadang jam 11 baru habis. Tapi kalo jam 11 itu belom habis ya tetep pulang, istirahat." lanjutnya.

Mereka memiliki dua anak. Anak pertama, perempuan berusia 4 tahun dan anak kedua laki-laki berusia 1 tahun. Sebelum berangkat berjualan, mereka menitipkan anaknya di salah satu tempat penitipan di Jogja. 

"Anak saya dua. Satu umur empat tahun yang gede, cewe. Yang kecil umur satu tahun, cowo. Kalo kerja dititip, sampe sore nitipnya." Kata Kiki.

Sudah tiga tahun mereka berjualan wingko babat. Awalnya mereka hanya berjualan wingko babat di pasar-pasar saja, hingga akhirnya memutuskan untuk konsisten berjualan di Jalan Malioboro. Mereka memilih jualan wingko karena wingko bisa bertahan kurang lebih seminggu pada suhu ruangan.

"Jualan ini karena waktu itu mentok aja sih, mau kerja kan punya anak nih tapi saya kalo ngasuh sendiri saya tidak bisa. Akhirnya suami juga kan harus di rumah. Terus ada solusi penitipan kayak daycare. Kalo disekolahin saya nganggur dong. Kalo suami aja yang kerja, sementara anak sekolah, apa ya, pendapatannya tuh ga cukup. Terus akhirnya waktu itu cuma punya duit tinggal Rp35 ribu doang. Terus ngomong sama suami, kita jualan aja yuk. Waktu itu di pasar-pasar aja. Pasar Serangan, Pasar Ngasem, Pasar Bantul, Pasar Ngleret, Imogiri itu aja." Jelas Kiki.

Sebelum berjualan wingko babat, Kiki pernah bekerja sebagai tukang jahit dan Rohmad menjadi tukang pijat. Namun, mereka memilih untuk tidak melanjutkan pekerjaan tersebut karena susah untuk mengejar target. Setelah memutuskan untuk berhenti dari pekerjaan menjadi tukang jahit, Kiki mencoba untuk berjualan serabi karena ia menganggap jualan serabi lebih menguntungkan daripada menjadi tukang jahit. Akan tetapi, pekerjaan itu tidak bertahan lama, karena serabi cepat busuk hanya bisa bertahan satu hari saja dan jika dagangan tidak habis, serabi itu tidak bisa dijual lagi besoknya. Hingga akhirnya mereka sepakat mengambil keputusan untuk berjualan wingko babat saja yang bisa bertahan kurang lebih seminggu pada suhu ruangan.

Sebagai seorang pedagang, mereka menjelaskan pendapatannya yang tidak menentu, terlebih di masa pandemi seperti sekarang ini. Namun, mereka tetap semangat dan berharap dagangannya ramai kembali.

"Ga tentu habis, apalagi PPKM, tapi sering habisnya. Kalo PPKM mah gausah di bilangin pendapatannya berapa ya, soalnya minim banget. Kalo misalkan biasanya bawa 100 pcs, kalo PPKM bisa dibeli 20pcs aja udah bagus. Tapi ini udah mulai bagus lagi." Kata Kiki.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun