Di tengah gempuran opini publik yang semakin riuh, jas almamater yang digadang sebagai sebuah simbol institusi akademik sering kali tidak lagi dibaca sebagai lambang keberpihakan intelektual, tetapi justru dicap sebagai arogansi.Â
Mengapa atribut yang seharusnya merepresentasikan niat luhur untuk menyampaikan aspirasi justru dilabeli sebagai sekat sosial, sebagai wujud superioritas yang memicu pertarungan horizontal antar massa?
Padahal, membawa identitas kampus dalam ruang gerak sosial bukanlah upaya untuk membusungkan dada. Itu adalah pilihan sadar untuk turut serta menyuarakan aspirasi rakyat dalam bingkai intelektualisme.Â
Sebab sejatinya, ilmu pengetahuan yang baik bukan hanya hidup dalam jurnal dan ruang kelas, tapi juga bernapas di jalanan bersama rakyat, bersama perlawanan.
Namun, kini kita hidup dalam zaman yang memuja "peleburan identitas".Â
Menyuarakan kritik tanpa bendera, menyatu tanpa simbol, dianggap sebagai bentuk solidaritas paling murni. Seolah-olah, mengenakan almamater adalah langkah mundur dari idealisme rakyat. Ironis, karena di sisi lain, ada yang justru sangat membutuhkan simbol almamater itu: sebagai perlindungan hukum, sebagai legitimasi moral, sebagai bukti bahwa yang bersuara tak datang membawa hasutan, melainkan gagasan.
Mereka yang memilih mengenakan almamater bukan berarti ingin berjarak dari massa lainnya. Tapi justru hendak menegaskan bahwa mereka datang dengan kesadaran akademik, dengan riset, dengan analisis.Â
Almamater bukan tembok, tapi jembatan---atau setidaknya, begitulah seharusnya dibaca.
Sayangnya, pembacaan kita hari ini cenderung terburu-buru. Kelompok berbaju bebas sering kali dianggap lebih dekat dengan rakyat, lebih merakyat, dan lebih sah untuk turun ke jalan. Sementara mereka yang beralmamater dianggap tidak bisa membaur, terlalu akademik, terlalu elitis, terlalu penuh kalkulasi.
Celakanya, sebagian yang melebur dalam massa kadang tak benar-benar memahami apa yang mereka serukan. Ada yang vokal melawan, tapi tak tahu pasal apa yang ingin dibatalkan. Ada yang menyuarakan isu rakyat, tapi tidak bisa menjelaskan substansinya. Kritik berubah jadi koar-koar. Narasi digantikan oleh kebisingan bahkan langkah anarkis yang menghilangkan nilai-nilai diplomasi.