Mohon tunggu...
Naya Nazwa Haliza
Naya Nazwa Haliza Mohon Tunggu... Penulis

Ruang ini sebagai perayaan kesadaran, kawah candradimuka yang berorientasi pada hal hal menyenangkan, tidak beraturan dan menuntut isi isu ideal yang dicurahkan melalui pikirian. Dari sebuah resah dan empirisme yang kecil. Namun gemar untuk dibagikan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ketika Almamater Dituduh Sebagai Arogansi Intelektual

11 April 2025   17:31 Diperbarui: 11 April 2025   17:44 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
( Massa menggelar aksi terkait RKUHP dan RUU KPK serta isu lainnya yang sedang bergulir. TRIBUNNEWS.COM/IQBAL FIRDAUS )

Di tengah gempuran opini publik yang semakin riuh, jas almamater yang digadang sebagai sebuah simbol institusi akademik sering kali tidak lagi dibaca sebagai lambang keberpihakan intelektual, tetapi justru dicap sebagai arogansi. 

Mengapa atribut yang seharusnya merepresentasikan niat luhur untuk menyampaikan aspirasi justru dilabeli sebagai sekat sosial, sebagai wujud superioritas yang memicu pertarungan horizontal antar massa?

Padahal, membawa identitas kampus dalam ruang gerak sosial bukanlah upaya untuk membusungkan dada. Itu adalah pilihan sadar untuk turut serta menyuarakan aspirasi rakyat dalam bingkai intelektualisme. 

Sebab sejatinya, ilmu pengetahuan yang baik bukan hanya hidup dalam jurnal dan ruang kelas, tapi juga bernapas di jalanan bersama rakyat, bersama perlawanan.

Namun, kini kita hidup dalam zaman yang memuja "peleburan identitas". 

Menyuarakan kritik tanpa bendera, menyatu tanpa simbol, dianggap sebagai bentuk solidaritas paling murni. Seolah-olah, mengenakan almamater adalah langkah mundur dari idealisme rakyat. Ironis, karena di sisi lain, ada yang justru sangat membutuhkan simbol almamater itu: sebagai perlindungan hukum, sebagai legitimasi moral, sebagai bukti bahwa yang bersuara tak datang membawa hasutan, melainkan gagasan.

Mereka yang memilih mengenakan almamater bukan berarti ingin berjarak dari massa lainnya. Tapi justru hendak menegaskan bahwa mereka datang dengan kesadaran akademik, dengan riset, dengan analisis. 

Almamater bukan tembok, tapi jembatan---atau setidaknya, begitulah seharusnya dibaca.

Sayangnya, pembacaan kita hari ini cenderung terburu-buru. Kelompok berbaju bebas sering kali dianggap lebih dekat dengan rakyat, lebih merakyat, dan lebih sah untuk turun ke jalan. Sementara mereka yang beralmamater dianggap tidak bisa membaur, terlalu akademik, terlalu elitis, terlalu penuh kalkulasi.

Celakanya, sebagian yang melebur dalam massa kadang tak benar-benar memahami apa yang mereka serukan. Ada yang vokal melawan, tapi tak tahu pasal apa yang ingin dibatalkan. Ada yang menyuarakan isu rakyat, tapi tidak bisa menjelaskan substansinya. Kritik berubah jadi koar-koar. Narasi digantikan oleh kebisingan bahkan langkah anarkis yang menghilangkan nilai-nilai diplomasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun