Langit pagi di Desa Tepi Laut hari ini tampak cerah. Pantainya biru membentang, tenang tapi menyimpan gelombang yang tak pernah bisa ditebak. Dari kejauhan, suara perahu-perahu kecil milik nelayan terdengar samar, diiringi aroma asin khas laut yang begitu lekat.
Sena Anta seorang pemuda pesisir yang dari kecil sdah terbiasa dengan riuh gelombang dan hembusan angina laut, saat dia berdiri di tepi dermaga kayu yang sudah mulai lapuk. Hari ini, ia mengenakan kemeja putih sederhana dan peci hitam yang selalu ia pakai sejak terpilih menjadi kepala desa. Dia selepas mendapatkan gelar sarjana perikanan tidak bekerja namun memberanikan diri ikut pemilihan kepala desa dengan tujuan untuk membangun desanya. Wajahnya tenang, matanya menatap jauh ke garis cakrawala. Tapi di balik ketenangan itu, pikirannya terus bekerja.
Ia baru dua minggu menjabat sebagai kepala desa Tepi Laut, sebuah desa kecil di pesisir selatan Jawa bagian timur. Bagi banyak orang, jabatan ini bukanlah sesuatu yang istimewa. Tapi bagi Sena Anta, ini adalah awal dari misi hidup yang sudah lama ia susun dalam hati, membangkitkan desanya dari tidur panjang.
Desa Tepi Laut, dengan segala keindahannya, telah lama terjebak dalam lingkaran kemiskinan dan keterbelakangan. Nelayan masih melaut dengan jaring tua, pertanian seadanya tak bisa menopang kebutuhan, sampah berserakan di sepanjang garis pantai, dan anak-anak muda lebih memilih pergi ke kota untuk bekerja dengan dalih ingin mendapatkan penghasilan yang lebih tinggi. Desa ini memiliki segalanya, kecuali arah.
Sena Anta memutuskan untuk memulainya dari hal paling mendasar yaitu mengenal kembali desanya sendiri. Ia mengajak perangkat desa, pemuda karang taruna, dan para tokoh masyarakat untuk duduk bersama, bukan hanya berbincang, tapi benar-benar menggali potensi. Mereka membuat peta besar, menandai titik-titik sumber daya, hutan mangrove, tambak, pantai yang bisa dijadikan wisata, kelompok ibu-ibu pengrajin, hingga nelayan yang mulai bosan dengan laut. Ia menyebut proses itu "inventarisasi harapan."
Selanjutnya, Sena Anta menyusun sebuah rencana besar yang ia beri nama: "Desa Cerdas dan Inovatif Tepi Laut." Sebuah gagasan yang mungkin terdengar muluk untuk ukuran desa kecil yang bahkan belum semua rumahnya memiliki akses internet. Tapi ia yakin, perubahan tidak dimulai dari fasilitas, melainkan dari tekad.
Sena Anta mulai menjalin hubungan dengan luar desa. Ia menghubungi teman-temannya di kampus tempat ia dulu belajar. Ia mengundang mahasiswa untuk tinggal di desanya lewat program KKN tematik. Ia menulis surat-surat panjang ke lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang lingkungan dan pemberdayaan. Ia bahkan datang sendiri ke dinas-dinas di kabupaten, memperkenalkan rencana yang ia bawa dengan semangat berapi, dengan tekad yang membaja.
Namun semuanya tentu tak berjalan mudah. Ada yang menolak, ada yang mencibir, dan tak sedikit yang meremehkan. Tapi Sena Anta tidak gentar. Ia percaya bahwa perubahan hanya perlu satu orang untuk memulainya, sisanya akan ikut jika sudah melihat hasilnya.
Perubahan pertama yang ia lakukan adalah menangani masalah sampah. Ia dan pemuda desa membentuk tim kecil, lalu mendirikan Bank Sampah "Waste Smile." Mereka mengajak ibu-ibu untuk menukar sampah dengan beras, sabun, dan sembako. Anak-anak ikut serta, berlarian di pantai setiap sore, berlomba mengumpulkan plastik. Pantai yang dulu kotor, perlahan mulai kembali bersih. Pelan tapi pasti, masyarakat mulai merasa memiliki.
Berikutnya, pariwisata menjadi perhatian. Bersama Pokdarwis yang baru ia bentuk, mereka membangun jalur tracking mangrove, gazebo bambu untuk wisatawan, dan menyewakan perahu kecil untuk tur keliling pantai. Mahasiswa yang sedang KKN membantu membuat video promosi, akun media sosial, hingga situs desa. Tidak butuh waktu lama, pengunjung pun mulai berdatangan, sebagian karena penasaran, sebagian karena benar-benar ingin menikmati alam yang masih perawan.