Tak lama lagi kita akan memeriahkan sebuah hajatan demokrasi yang sangat mewah yaitu pemilihan umum langsung kepala daerah yang dilaksanakan serentak di sebagaian besar propinsi dan kabupaten di Indonesia, hiruk pikuk aroma kegiatan sudah mulai hangat ibarat masakan aroma citra bumbupun sudah mulai menyengat, tapi bicara Pilkada kita semua mahfum bahwa hajatan ini adalah sebuah upaya masyarakat demokrasi mengelola kebutuhan dasarnya yaitu ingin sejahtera oleh karena itu kita juga harus melihat kondisi masyarakat dan bangsa Indonesia akhir -- akhir ini.
Dunia politik punya hukum sendiri,
colong sana colong sini atau colong-colongan,
seperti orang nyolong mangga kalau nggak nyolong nggak asik.
Rakyat lugu kena getahnya buah mangga entah kemana,
tinggal biji tinggal kulitnya, tinggal mimpi ambil hikmahnya
(Dunia Politik, Iwan Fals).
Â
Sepenggal lirik lagu Iwan Fals diatas kiranya sudah cukup mewakili asumsi masyarakat dalam melihat dunia politik di negeri ini. Tidak dapat dipungkiri, dunia politik saat ini dianggap kotor, manipulatif dan transaksional yang kebenarannya terlanjur diterima oleh masyarakat umum. Dunia politik identik tempatnya para koruptor yang menimbun uang sebanyak mungkin dengan cara-cara yang tidak benar.Â
Suap, gratifikasi dan korupsi kerap kali disandingkan dengan pejabat negeri ini. Serupa menu sarapan basi yang hampir setiap pagi dihidangkan oleh masyarakat di meja makan mereka. Mulai dari abang becak, tukang ojek, penjual angkringan, nelayan, petani tak henti-hentinya nggrenengi para elit politik yang tersandung kasus korupsi. Masyarakat seakan-akan marah, lantaran para elit politik mengencingi sistem dekomokrasi: dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Asumsi masyarakat tersebut bukanlah tanpa dasar coba kita perhatikan berita akhir-akhir ini banyak sekali praktek korupsi yang terbongkar, banyak para pemimpin daerah kita yang terjerat oleh kasus korupsi, anggota dewan hilir mudik ke gedung KPK karena menjadi tersangka kasus korupsi. Â