Mohon tunggu...
Normi Rojab
Normi Rojab Mohon Tunggu... -

aku seorang asisteen apoteker sangat mencintai keluargaku dan sekarang aku sedang belajar di jurusan psikologi :)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bangsa Sendiri Mencabut Budaya Sendiri

20 Juni 2014   03:58 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:03 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sudah menjadi fenomena  sepanjang masa bahwa pengaruh budaya luar selalu menyusup kedalam tradisi kita melalui gaya hidup. Dulu beberapa belas tahun yang lalu  berambut kribo, kaca mata besar, dari beberapa film telenovela menjadi contoh life style anak muda. Kemudian datang breakdance, rambut punk rock, bertato, benindik di area beberapa bagian tubuh, mencorat-coret  menjadi life style selanjutnya.

Beberapa dekade lalu budaya kita, seperti pewayangan, tari jaipong, tari jatilan dan masih banyak budaya lainnya juga masih menjadi trend bahkan hingga saat ini budaya itulah yang menjadi daya tarik wisatawan luar negeri untuk datang ke Indonesia.

Tapi ironisnya budaya luar sekarang justru lebih diminati oleh generasi negeri ini dari pada budaya negeri sendiri. Budaya luar semakin banyak dikosumsi dan diadopsi oleh pelajar, hingga orang dewasa. Dimana budaya yang dulu menjadi puncak kejayaan? Kita bisa dapat dengan mudah menemukan dijalanan, lampu merah, atau menari-nari dari rumah kerumah. Dimana budaya luar negeri kita temukan? Ditelevisi, di banyak berbagai acara besar, di mall, dan masih banyak lainnya.

Fenomena ini tentu ada penyebab dan pemicunya dan setiap orang sepakat bahwa media elektronik seperti televisi, internet  dan gadget  adalah salah satu  penyalur yang paling ampuh dalam menyedot perhatian  para konsumen publik.

Memang benar bahwa  media itu mempunyai manfaat positif dan tak sedikit juga menimbulkan dampak negative.  Dari beberapa acara ada yang memberikan pngetahuan, menghibur penonton, berita, sinetron, film dan banyak yang lainnya. Namun, pada perkembangan selanjtunya, tak sedikit sinetron yang telah menyebarkan  wabah mematikan kepada para konsumen penikmat media  terutama anak didik.

Banyak tayangan televisi yang berunsur kekerasan bahkan adegan adegan pembunuhan dan tak senonoh yang masih bisa tayang bahkan lulus sensor. Bisa jadi, hal ini dikarenakan banyak tayangan di Indonesia yang mengadopsi  tayangan dari Negara lain yang disana dilegalkan untuk ditayangkan. Tapi sayangnya meski sinetron tersebut mendapatkan teguran dari KPI, faktanya sinetron ataupun acara-acara yang tak layak tayang masih bisa tayang setiap hari. Minimnya acara untuk anak-anak , pembedaan acara untuk anak dan dewasa, dan kurangnya kontrol dari orang tua maupun orang-orang terdekat untuk menjelaskan manfaat dari acara tersebut. Hal ini bisa menimbulkan banyak hal negative untuk para anak-anak yang masih belum mempunyai kontrol, belum mempunyai pemahaman yang dalam atas apa yang ia tonton. Tak sedikit anak-anak yang terjerumus ke hal-hal negativ karena pengaruh ini. Seperti yang diungkapkan oleh Piaget didalam ide dasar teorinya. Ia mengungkapkan bahwa anak (pelajar) adalah pembelajar yang aktif. Ia terus mengadakan eksperimen dengan objek-objek yang mereka temui, memanipulasi sesuatu dan mengobservasi efek-efek dari tindakan-tindakannya (Desmita,2009).

Para anak-anak bangsa bahkan kini bisa dikatakan mereka memperoleh dua macam pendidikan yaitu dari guru di sekolah dan tokoh sinetron ataupun presenter di layar kaca televisi. Anak didik akan membandingkan dua jenis figure tersebut, yaitu guru – guru yang senantiasa berusaha mengajak mereka agar menjadi insan yang memiliki kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik (keterampilan), intelligent quotient, emotional quotient, dan spiritual quotient yang mantap dan para artis sinetron yang mengiming – imingi ketenaran, kemewaahan, kekayaan, dan kecengengan, dengan mengesampingkan moral dan norma : berciuman di muka publik atau hamil sebelum menikah. Jelas, penampilan artis sinetron itu jauh dari akar budaya kita. (Marjohan,2009)

Bangsa ini mulai lupa akar budaya kita sendiri. Bangsa yang terkenal dengan kekayaan budayanya. Kita Sebagai generasi penerus seharusnya mari kita bersama-sama menyadari akan pentingnya mempertahankan dan melindungi kebudayaan asli Indonesia. Karena dari budaya itu sendiri kita dikenal dan dikagumi oleh bangsa lain. Mari mulai memperhatikan tayangan mana yang memberikan manfaat baik untuk kita dan orang-orang terdekat kita Mari mulai membangun rasa cinta terhadap kebudayaan Indonesia melalui pendidikan yang berkualitas serta mewujudkan cita-cita bangsa yang telah diperjuangkan oleh para pahlawan. Agar kita bisa membentuk generasi penerus yang berkualitas dan budaya tak lagi menjadi dongeng tapi menjadi ciri khas suatu bangsa.

Daftar pustaka

·Desmita. (2009). Psikologi perkembangan peserta didik: Panduan bagi orang tua dan guru dalam memahami psikologi anak usia SD, SMP dan SMA. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

·Marjohan. (2009). School Healing. Yogyakarta. PT. Pustaka Insan Madani

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun