Mohon tunggu...
Naufal Al Zahra
Naufal Al Zahra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pendidikan Sejarah FKIP UNSIL

Dari Sumedang untuk Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Transformasi Wajah Timur Tengah Pasca Perang Dunia I

11 Juli 2021   15:05 Diperbarui: 11 Juli 2021   15:17 1112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peta rencana pembagian kawasan Timur Tengah antara Inggris dan Prancis, sumber gambar: Berkas:MPK1-426_Sykes_Picot_Ag

Perang Dunia I  (1914-1918) yang semula diperkirakan hanya akan terjadi di Eropa pada perkembangannya merambah ke kawasan Timur Tengah. Hal demikian terjadi disebabkan Kekaisaran Jerman melobi penguasa sah atas wilayah Timur Tengah yakni Kekhalifahan Turki Utsmani agar masuk dalam aliansi Blok Poros untuk melawan Blok Sekutu. Padahal, ketika memasuki abad ke-20, kondisi negara transnasional ini sedang tidak baik-baik saja.

Perang besar yang menghabiskan waktu selama empat tahun ini tak bisa pungkiri lagi menimbulkan dampak yang sangat besar bagi transformasi wajah Timur Tengah pada masa-masa berikutnya. Kelemahan yang disusul dengan kekalahan Turki Utsmani di front timur dalam Perang Dunia I menjadi penyebab utamanya.

Rencana untuk menganeksasi kawasan Timur Tengah sejatinya telah dimulai sebelum Perang Dunia I berakhir. Blok Sekutu khususnya Inggris dan Prancis yang telah melihat tanda-tanda kekalahan Turki melakukan persengkokolan rahasia untuk membagi-bagi wilayah Turki di Timur Tengah setelah perang selesai dalam Perjanjian Sykes-Picot pada 1916. Padahal, satu tahun sebelumnya, Inggris melalui korespondensi antara Mc Mahon dengan Syarif Husein telah menjanjikan kedaulatan penuh bagi bangsa Arab kepada Syarif Husein jika Inggris berhasil mengalahkan Turki.

Substansi dari Perjanjian Sykes-Picot ialah pembagian kekuasaan antara Inggris dan Prancis di kawasan Timur Tengah yang subur. Dalam buku The Fall of The Khilafah (2015) karya Eugene Rogan dinyatakan bahwa “daerah biru” yang merupakan simbol Prancis mendapatkan hak untuk berkuasa atas kawasan Laut Tengah bagian timur, Suriah modern, Lebanon, dan sebagian kecil Anatolia Timur. Sementara, “daerah merah” yang menjadi simbol Inggris memperoleh hak untuk menguasai Provinsi Irak khususnya Baghdad dan Basrah.

Tindakan persekongkolan kedua negara tersebut secara otomatis mengingkari kesepakatan yang telah dibuat Inggris sebelumnya dengan Syarif Husein pada 1915. Sebab, mereka menyisakan wilayah tertentu saja untuk imperium bangsa Arab yakni Zona A meliputi kota-kota pedalaman di Suriah yang berada di bawah kendali informal Prancis dan Zona B meliputi kawasan yang membentang dari Sinai hingga Irak bagian timur di bawah kendali informal Inggris. Ada pun dengan Palestina, Inggris maupun Prancis bersepakat untuk menjadikannya sebagai zona internasional.

Inggris dalam Perjanjian Sykes-Picot yang nampak tidak berminat untuk menguasai Palestina, satu tahun berikutnya merubah kebijakannya melalui Deklarasi Balfour (1917). Substansi kebijakan tersebut ialah dukungan bagi orang-orang Yahudi untuk mendiami Palestina sebagai tanah air mereka. Menurut Eugene Rogan, deklarasi tersebut merupakan komitmen pemerintah Inggris yang luar biasa. Hal itu nampak pada optismisme Inggris dalam merebut Palestina, saking optimisnya, Inggris berani menerbitkan kebijakan tersebut kepada publik sebelum pasukan Inggris di bawah komando Jenderal Allenby memasuki Kota Yerusalem.

Dalam buku berjudul Tinjauan Historis Konflik Yahudi, Kristen, dan Islam (2018) karya Adian Hussaini dinyatakan bahwa tak lama setelah Deklarasi Balfour, pasukan Inggris di bawah komando Jenderal Allenby dapat memasuki Yerusalem. Dengan gegap gempita, pasukan Inggris ini diikuti oleh iring-iringan ribuan sukarelawan Yahudi. Dengan begitu, cukup jelas bahwa Deklarasi Balfour merupakan tonggak awal kebahagiaan bagi orang-orang Yahudi yang terafiliasi dengan gerakan Zionisme. Sementara, bagi orang-orang Arab, Deklarasi Balfour merupakan pertanda awal munculnya malapetaka besar yang kelak akan mereka rasakan pada masa berikutnya.

Tampulan Deklarasi Balfour (1917), sumber gambar: https://id.m.wikipedia.org/
Tampulan Deklarasi Balfour (1917), sumber gambar: https://id.m.wikipedia.org/

Kalangan Yahudi yang merasakan buah kebaikan dari Inggris sewaktu Perang Dunia I mendapatkan dukungan yang lebih besar dari Amerika Serikat setelah terbitnya Resolusi Majelis Umum PBB No. 181 tahun 1947 yang isinya cukup menguntungkan para pemukim Yahudi di Palestina dan merugikan para pemukim Arab. Berselang satu tahun setelah terbitnya resolusi tersebut, sebuah negara baru bernama Israel pun berdiri di atas tanah Palestina yang akan meningkatkan tensi konflik di Timur Tengah dan malapetaka bagi kaum pribumi.

Kembali pada Perjanjian Sykes-Picot, persekongkolan rahasia yang dibuat antara Inggris dan Prancis pada 1916 dibocorkan oleh kaum Bolshevik Rusia pada 1917. Hal itu tentu saja menambah kerumitan hubungan Inggris-Prancis dengan Syarif Husein. Sebagai perkembangannya, Inggris hanya mampu menjadikan Syarif Husein sebagai Raja Hijaz saja sementara dua anak Syarif Husein yakni Faisal dinobatkan menjadi Raja Irak dan Abdullah sebagai Raja Transyordania. Ketentuan ini jelas ditolak Syarif Husein yang ingin berkuasa atas seluruh daratan Arab.

Wilayah kekuasaan Kerajaan Hijaz di bawah pemerintahan Syarif Husein, sumber gambar: https://id.m.wikipedia.org/
Wilayah kekuasaan Kerajaan Hijaz di bawah pemerintahan Syarif Husein, sumber gambar: https://id.m.wikipedia.org/
HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun