Mohon tunggu...
Naufal Al Rafsanjani
Naufal Al Rafsanjani Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia

Hidup adalah Untaian Makna dari Kata yang Ditulis Semesta. My Blog: www.tweetilmu.web.id

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Otak Dangkal: Normalisasi Pornografi

15 April 2022   13:00 Diperbarui: 12 Juli 2022   11:10 605
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Kaique Rocha from Pexels

Pada episode perdana Otak Dangkal, akan menyajikan isu yang belakangan hangat yakni respon netizen terhadap pembelian konten dewasa yang dilakukan oleh public figure. Hal yang perlu disoroti belakangan ini ialah soal kasus pembelian konten porno yang dilakukan oleh salah satu komedian, tetapi bukan pembelian kontennya yang hendak disoroti, tetapi cara si "M" memberi tanggapan dan komentar para netizen yang bikin gue geleng-geleng kepala.

Entah kenapa cara si "M" berbicara di depan media seolah mewajarkan, walaupun dalam pengakuannya tidak membenarkan perbuatannya, ya mungkin saja sebenarnya shock, dan bergerilya membunuh rasa malu.

Atau mungkin memang hal-hal seperti ini menjadi dunia gelapnya para public figure yang hendak mencari kesenangan ditengah penatnya rutinitas, makanya seolah "biasa aja... Ssstt pura-pura gatau aja. Dan yang bikin kaget lagi, sebagian netizen, menyebut itu sebagai hal yang lumrah, dengan sejumlah pernyataan "wajar lah laki-laki." Loh-loh ada apa dengan laki-laki Dan ada pula yang justru menyerang pihak kepolisian dan membandingkan dengan kasus-kasus lain dengan mengatakan "ngapain ngurusin hal yang sepele, sementara kasus koruptor, isu penimbunan minyak tidak ditangani secara optimal!" Ujar sebagian netizen kaum mendang-mending. 

Ya emang gak salah sih, memberi komentar begitu ditengah kondisi penegakan hukum di Indonesia yang masih amburadul.

Mungkin buat sebagian orang pembelian konten-konten berlendir itu suatu hal yang biasa dan sudah marak terjadi, dengan dalih pemenuhan hasrat pribadi dan masuk ke ranah private. Tapi menurut Alrafsa tuh gini, seperti hukum ekonomi dasar, ada supply and demand, gak kebayang deh, jika semakin banyak orang yang berhasrat tinggi dengan menginginkan  konten berbau seksual, maka semakin banyak pula penyedia-penyedia baik secara individu maupun yang terafiliasi dengan aplikasi yang menyajikan konten dewasa.

Pernah mikir sampe situ gak sih? Kalo secara gak langsung kasus-kasus itu justru bisa meng-influence banyak orang untuk menormalisasi pekerjaan non-halal itu, apakah sudah tidak ada Tuhan dihatinya? Dan bisa aja dong tanggapan yang seolah menormalisasi pembelian itu, atau kegiatan itu, yang dilakukan oleh siapapun, tidak hanya publik figure pada akhirnya menjadi gerbang maraknya kasus pelecahan seksual.

Mungkin bagi mereka Tuhan hanya dongeng semata, dan dunia adalah realisasi hura hura.

Coba deh liat di sosial media, begitu banyak orang dengan sengaja mempertontonkan tubuhnya dan tidak sedikit yang mendapatkan keuntungan materil atas show-show yang dia buat. Lalu buat apa ada undang-undang pornografi kalau tidak bisa mencegah normalisasi ini. Buat apa juga undang-undang transaksi elektronik yang seolah kehilangan tajinya mengurusi hal ini? Gak kebayang juga, kalau kerasnya hidup membuat perempuan-perempuan akhirnya berpikir pendek dan masuk ke dunia itu.

Terkadang netizen itu aneh, tidak melihat suatu kejadian dengan objektif, membela karena dia lucu misalnya, atau disejumlah kasus lain membela karena dia good looking dan selalu bicara soal mendang-mending, selalu memperdebatkan perbandingan, sampai lupa untuk bahas hal yang jauh lebih esensial.

Jadi... coba deh dipikir lagi!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun