Mohon tunggu...
Natasya Firdausi
Natasya Firdausi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Aktif Sastra Inggris Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

“Seorang pelajar yang selalu berusaha menggali ilmu baru, percaya bahwa setiap hari adalah kesempatan untuk belajar dan berkembang.“

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Di Balik Layar Media Sosial: Perjuangan Generasi Muda Melawan Kecemasan

1 Desember 2024   07:25 Diperbarui: 1 Desember 2024   07:37 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Generasi muda saat ini tumbuh di tengah derasnya arus digitalisasi. Media sosial, yang awalnya diciptakan untuk menghubungkan orang, kini berubah menjadi arena kompetisi yang tidak terlihat. Setiap unggahan tentang kehidupan sehari-hari, mulai dari gaya berpakaian, pencapaian karier, hingga liburan mewah, menciptakan tekanan tersendiri. Hal ini membuat banyak anak muda merasa harus mengikuti standar yang ada agar tidak tertinggal. Sayangnya, tekanan ini kerap berujung pada rasa cemas berlebihan, perasaan tidak puas, hingga hilangnya rasa percaya diri. Media sosial yang seharusnya menjadi alat komunikasi justru menjadi sumber kecemasan baru.

Statistik dan Fakta tentang Anak Muda di Media Sosial

Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) dalam Laporan Survei Internet Indonesia 2023 menyatakan bahwa lebih dari 70% pengguna internet di Indonesia adalah anak muda berusia 13-34 tahun. Sebagian besar dari mereka menghabiskan waktunya di media sosial, mulai dari memantau kehidupan teman hingga mengikuti tren terbaru. Namun, angka ini juga mencerminkan betapa besar paparan mereka terhadap konten yang bisa memicu kecemasan, seperti gaya hidup glamor atau tubuh ideal yang sering ditampilkan influencer.

Fenomena FoMO dan Dampaknya

Istilah Fear of Missing Out (FoMO) kini menjadi salah satu topik yang semakin relevan dalam era digital. Menurut Przybylski et al. (2013, dikutip dalam Fuster, Chammarro, dan Orberst, 2017), FoMO digambarkan sebagai kekhawatiran bahwa orang lain mungkin mengalami pengalaman yang lebih menyenangkan atau bermanfaat, sehingga mendorong individu untuk terus terhubung dengan media sosial.
Fenomena ini sangat lazim di kalangan anak muda yang menghabiskan banyak waktu untuk memantau unggahan teman atau influencer di media sosial. FoMO menciptakan siklus kecemasan, di mana seseorang merasa harus terus mengetahui atau ikut serta dalam setiap tren, acara, atau diskusi online. Beberapa dampak nyata dari FoMO meliputi:
    1.Kecemasan (Anxiety): Kekhawatiran terus-menerus akan tertinggal membuat pengguna media sosial merasa gelisah.
    2.Rasa Tidak Aman (Insecurity): Ketidakpuasan terhadap kehidupan sendiri sering kali muncul ketika seseorang membandingkan diri dengan kehidupan ideal yang terlihat di media sosial.
    3.Penurunan Produktivitas: Waktu yang seharusnya digunakan untuk belajar atau bekerja malah habis untuk mengejar validasi di dunia maya.

FoMO juga berkaitan erat dengan tekanan untuk selalu "hadir" di media sosial. Bagi banyak orang, berhenti memantau media sosial sejenak bisa memunculkan rasa bersalah, seolah-olah mereka melewatkan sesuatu yang penting. Padahal, seperti yang sering terjadi, tidak semua yang tampak di layar mencerminkan kenyataan.

Media Sosial dan Realitas Semu

Unggahan yang sering kali terlihat sempurna sebenarnya adalah hasil kurasi yang cermat. Banyak influencer atau pengguna media sosial hanya menampilkan sisi terbaik dari kehidupan mereka, sementara tantangan atau kegagalan jarang diperlihatkan. Hal ini menciptakan realitas semu yang memengaruhi ekspektasi anak muda terhadap kehidupan mereka sendiri.
Sayangnya, tidak semua orang mampu mengenali batasan antara apa yang nyata dan apa yang hanya untuk konsumsi media sosial. Inilah yang membuat literasi media menjadi penting.
Mengatasi FoMO: Langkah Kecil untuk Keseimbangan Mental
Untuk mengurangi dampak negatif media sosial, anak muda perlu mempraktikkan beberapa langkah sederhana:
    1.Berhenti Membandingkan Diri dengan Orang Lain: Fokus pada perjalanan pribadi, karena setiap orang memiliki jalur hidup yang berbeda
     2.Batas Waktu di Media Sosial: Menetapkan waktu khusus untuk menggunakan media sosial dapat membantu mengurangi stres.
     3.Memprioritaskan Kehidupan Nyata: Habiskan lebih banyak waktu untuk aktivitas di dunia nyata, seperti berkumpul dengan keluarga atau teman tanpa distraksi ponsel.
     4.Meningkatkan Literasi Media: Belajar memahami bahwa media sosial sering kali hanya menampilkan sisi positif kehidupan. Ini membantu pengguna memfilter informasi dengan lebih kritis.

Kesadaran Kolektif: Peran Literasi Digital dan Komunitas

Mengatasi kecemasan akibat media sosial juga membutuhkan pendekatan kolektif. Pendidikan literasi digital harus menjadi prioritas di tingkat keluarga, sekolah, dan masyarakat. Literasi digital tidak hanya soal cara menggunakan teknologi, tetapi juga kemampuan kritis untuk menyaring informasi dan memahami konteks.
Komunitas digital juga dapat berperan penting dalam menciptakan ruang yang lebih sehat di media sosial. Influencer dan figur publik bisa menjadi agen perubahan dengan menampilkan sisi autentik kehidupan mereka, termasuk berbagi perjuangan dan kegagalan, bukan hanya pencapaian.

Menemukan Harmoni di Era Digital

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun