Mohon tunggu...
Natania Valentine
Natania Valentine Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang mahasiswi

Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Budaya "Saweran", Menguntungkan atau Merugikan?

7 Maret 2022   16:00 Diperbarui: 7 Maret 2022   21:12 4426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cintya Pradnya A - Dalam beberapa tahun terakhir, dangdut telah menjadi salah satu aliran musik yang cukup banyak diminati di Indonesia. Bukan tanpa alasan, musik dangdut memiliki ciri khas tersendiri diantaranya alunan musik yang sangat mudah untuk dinikmati atau biasa disebut easy listening dan daya tarik para penyanyi yang membawakan lagu-lagu tersebut.  Tak jarang lirik-lirik yang disuguhkan dalam musik dangdut sangat berkaitan dengan kisah di kehidupan nyata sehingga ini juga menambah daya tarik musik dangdut ke berbagai kalangan. Naiknya musik dangdut akhir-akhir ini juga merupakan campur tangan dari acara kompetisi menyanyi dangdut yang disiarkan oleh stasiun-stasiun televisi. Adanya acara tersebut juga termasuk usaha dalam menaikkan dangdut agar juga bisa menjadi hiburan kaum menengah.

www.youtube.com
www.youtube.com

Menurut Decker (2020), pada jurnalnya mengatakan bahwa pertunjukan dangdut masih sangat menguntungkan bagi para musisi offline yang cenderung tradisional selain di acara televisi. Pertunjukan dangdut biasanya ditampilkan pada acara pernikahan atau khitanan.  Adapun tradisi yang biasa dilakukan oleh para penonton saat menyaksikan penampilan musik dangdut adalah memberi "saweran". Saweran atau nyawer adalah kegiatan memberikan sejumlah uang kepada penyanyi dangdut dengan bertujuan untuk sekedar memberikan apresiasi hingga pemuasan diri si pemberi saweran. Pada umumnya, kegiatan nyawer ini dilakukan kepada penampil atau penyanyi perempuan. 

Nyawer tak hanya dilakukan dengan satu cara. Ada beberapa cara untuk nyawer seorang penyanyi dangdut. Contoh nya adalah melemparkan uang, beras, koin, irisan kunyit ke atas panggung. Ada pula cara yang dianggap kurang sopan yaitu dengan memasukkan uang ke dalam bra para penyanyi yang sedang tampil. Maka dari itu tak jarang penyanyi dangdut memiliki stigma yang negatif karena dianggap erotis oleh sebagian besar orang.

Mulai munculnya stigma negatif masyarakat tentang penyanyi dangdut memicu pro dan kontra. Bader & Richter (2014) dalam jurnalnya menyebutkan bahwa nyawer secara historis merupakan praktik budaya Jawa dan Sunda yang tergolong dalam acara siklus hidup. Menurut pendapat saya sebenarnya sah-sah saja jika kegiatan saweran ini masih ada hingga saat ini. Toh jika dilihat dari sisi positif ini sangat membantu ekonomi dari sisi penyanyi. Namun ada beberapa hal yang perlu kita beri perhatian lebih. Terkadang hubungan antar tubuh antara penyanyi dan orang yang memberi saweran mencakup interaksi provokatif yang mengarah ke ranah seksual.

Teori yang dapat adalah gender dan seksualitas. Dari isu gender yang ada dalam permasalahan di atas saya ingin menggunakan sudut pandang feminisme. Feminisme merupakan pemikiran yang mempunyai fokus pada bagaimana perempuan bisa mempunyai hak yang sama dengan laki-laki terutama pada hak pendidikan, hak pilih dan hak dalam bekerja. Dalam tradisi saweran ini saya melihat ada permasalahan yang terjadi yaitu kegiatan saweran adalah ladang untuk mengeksploitasi wanita. Adanya argumen turun menurun di pulau Jawa yang mengatakan bahwa perempuan dengan kelas sosial ekonomi dan pendidikan yang sangat rendah hanya mempunyai sangat sedikit pilihan pekerjaan yang menawarkan kesempatan untuk "maju", dan salah satunya yaitu menjadi penyanyi dangdut.

www.delinewstv.com
www.delinewstv.com

Seperti yang sudah saya bahas di atas, pertunjukan dangdut sangat identik dengan penyanyi wanita yang menggunakan pakaian seksi dan menari dengan menunjukkan gerakan-gerakan erotis. Tak sedikit para remaja wanita banyak yang tergiur dengan adanya saweran tersebut. Mereka pun rela untuk berubah penampilan yang semula mungkin lebih tertutup dan sopan menjadi wanita yang berpenampilan lebih terbuka hanya untuk menarik para penonton yang sebagian besar adalah laki-laki.Secara tidak langsung dapat disimpulkan bahwa wanita tersebut secara tidak langsung bisa saja menjadi korban karena mereka merelakan tubuh mereka untuk digunakan sebagai alat atau sarana penghasil uang. Jelas ini sangat bertolak belakang dengan feminisme karena disini wanita terkesan dijatuhkan harga dirinya dan tidak memiliki kondisi kerja yang layak. Selain dampak tersebut, ini juga akan memperkuat nilai-nilai patriarki yang ada dalam masyarakat. Maka dari itu kita sebagai wanita harus bisa menemukan value diri kita agar tidak mudah direndahkan oleh laki-laki.

Daftar pustaka :

Bader, S., & Richter, M. M. H. (2014). Dangdut beyond the sex: Creating intercorporeal space through nyawer encounters in West Java, Indonesia. Ethnomusicology Forum, 23(2), 163 - 183. https://doi.org/10.1080/17411912.2014.926629

Decker, A. (2020). Hidden for Their Protection: Gendered Power, Provocation, and Representation in Dangdut Competition Television. Bijdragen Tot de Taal-, Land- En Volkenkunde, 176(1), 37--69. https://www.jstor.org/stable/26910983

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun