Lagi lagi pipi ini merah dan tersenyum tersipu malu, tidak dapat tertahankan. Sampai kesal sama diri sendiri, kenapa harus memerah dan tersipu malu? Apa udah sanggup sama konsekuensi yang ada? Hati, tolong hati-hati dengan hati. Aku tidak mau hati jatuh pada hati yang berhati. Tapi jika memang hati akan jatuh, jangan enggan berkata pada hati ya hati. Terimakasih hati.
“Dimakan tu eskrimnya, meleleh lho”, teriaknya mengejutkan lamunanku.
“Eh iya, maaf hehe”, jawabku.
“Ngapain sih? Mikirin apa? Hobi banget ngelamun, sini cerita sama aku”, ucapnya.
“Hah enggak kok, tidak apa-apa”, jawabku.
“Yakin?” tanyanya meyakinkanku.
“Iya yakin”, tegasku.
“Kalau ada apa-apa, aku ada dibelakangmu ya”, ucapnya.
Aku membalasnya hanya dengan tersenyum. Mendadak suasana menjadi tidak nyaman, diam, dan sepi. Bagaimana pula ini hati? Janganlah jatuh. Kelak akan ada hati yang berhati lainnya. Kenapa harus hati yang ini? Hati ini lebih tepat mendengarkan hati. Bukan hati untuk menjaga hati. Huft, sudahlah hati, aku mohon hati-hati dengan hati.
Setiap pagi, Ian mengantarkan sarapan ke rumahku, sesekali menghabiskan bersama, tapi lebih sering tidak, karena aku belum bangun dari mimpiku. Hari-hariku dihabiskan dengan melakukan kegiatan bersama Ian. Lebih tepatnya membuang waktu yang ada bersamanya. Bercanda dan tertawa, melamun, dan tertidur kami lalui bersama. Aku merasa semakin dekat dengannya. Dan semakin bergejolak rasa ini. Tapi apa daya. Setidaknya hari-hariku lebih berwarna akhir-akhir ini.
Hingga pada akhirnya, ada yang berbeda dengan Ian. Tidak ada sapaan di pagi hari, tidak ada sarapan di pagi hari, tidak ada candanya di siang hari, tidak ada tingkah menyebalkan di ujung hari, dan tidak lagi ada salam penutup di penutup hari. Ian juga tidak datang ke rumah hari ini, walau hanya sekedar ingin pindah tidur. Aku menyadari bahwa hati ini mulai sepi. Dan hati ini menyadari bahwa hati telah jatuh pada hati yang tidak berhati. Sampai diujung hari.