"Idih, ngapain mikirin kamu, sapa juga yang kangen sama kamu, nyebelin!" jawabku kesal.
Aku sadar bahwa sebentar lagi, pipi ini akan merah merona. Aku memutuskanuntuk segera pergi meninggalkannya. Aku malu jika ia tahu pipiku memerah karenanya, nanti dia kepedean, makin menjadi ulahnya, bikin emosi.
"Yaudah deh, aku pergi dulu ya, udah males ni" ucapku.
"Eh woe, jangan marah dong, gtu aja marah, balik woe balik", teriaknya dengan keras.
Aku hanya berbalik badan dan tersenyum lembut padanya. Aku tidak mau ia tahu soal pipi merahku. Aku segera lari pulang ke rumah. Aku tergeletak di kasur empukku, masih membayangkan senyumnya yang sudah lama tak berjumpa. Bau parfumnya masih tercium dalam hidungku. Suaranya masih menggema dalam telingaku. Dan hatiku masih berdegup kencang karenanya. Rian, bukan sekedar teman kecil. Ia tahu semua tentangku, begitu sebaliknya. Tapi semakin lama, semakin tak terkendali. Hati ini jatuh padanya. Dan keadaan mulai berubah. Aku tidak lagi terlalu dekat dengannya. Ini semua masalah gengsi. Aku tidak mau jika hubunganku dengannya rusak karena cinta. Tapi tidak bisa mengelak, jatuh cinta bisa datang kapan saja, di mana saja, dan untuk siapa saja, tanpa memandang apapun. Malam ini, menjadi malam yang berat untukku, perasaan yang ada mulai tidak tersamarkan lagi.
Ayam berkokok, matahari menyingsing. Pagi ini disambut baik dengan hujan hari pertama di Jogja. Ini membuat aku merasa bosan. Pada awalnya aku ingin berkeliling Jogja, melepas rasa rindu yang ada.
"Permisi", terdengar suara seorang pria sembari mengetuk pintu.
"Nggih, sebentar", saut pakdhe.
Pakdhe membukakan pintu. Terjadi obrolan singkat dengan tamu itu.
"Waduh mas Ian, ada apa mas, hujan-hujan begini lho, mari masuk", sambut pakdhe.
"Pagi pakdhe, Ina sudah bangun belum ya pakdhe?", tanyanya sembari masuk ke dalam rumah.