Mohon tunggu...
NASYA TSABITAH
NASYA TSABITAH Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa pendidikan masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Collaborative Learning

14 Desember 2022   10:28 Diperbarui: 14 Desember 2022   10:39 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Collaborative learning adalah metode pembelajaran yang melibatkan siswa berinteraksi dan berkomunikasi dengan temannya untuk membantu mereka lebih memahami suatu topik. Collaborative learning bukanlah hal baru dalam bidang pendidikan, khususnya community building. 

Menurut Bruffee (1999), pembelajaran kolaboratif memiliki sejarah yang panjang. Sejarah pembelajaran kolaboratif dimulai pada abad ke-18 ketika Benjamin Franklin menerbitkan gagasan strategi pembelajaran yang disebut pembelajaran mandiri untuk memfasilitasi pembelajaran informal. Pembelajaran mandiri, sering disebut sebagai pembelajaran yang berpusat pada siswa, menempatkan siswa sebagai pusat dari proses pembelajaran (Masouleh dan Jooneghani, 2012). 

Clark & Baker (2007) mempresentasikan hasil penelitian pembelajaran kolaboratif. Sebuah studi oleh Gokhale (1995) menyimpulkan bahwa pembelajaran kolaboratif melalui diskusi, klarifikasi ide, dan evaluasi oleh orang lain efektif dalam meningkatkan pemikiran kritis dan memperoleh pengetahuan faktual (Apriono, 2013).

Pembelajaran kolaboratif memberikan kesempatan kepada siswa untuk menilai, memperkuat dan meningkatkan pengetahuan dan informasi mereka dengan bertemu dan berinteraksi dengan orang lain yang berpikir berbeda. Pembelajaran dengan cara ini juga memungkinkan siswa untuk mencari pemahaman tentang topik secara bersama-sama. 

Alasan munculnya pembelajaran kolaboratif adalah bahwa pembelajaran kolaboratif dapat memberikan peluang keberhasilan praktik pembelajaran karena merupakan teknologi pembelajaran yang membutuhkan partisipasi aktif siswa dan meminimalkan perbedaan antar individu, meningkatkan kecepatan pembelajaran formal dan informal. Terdapat dua kekuatan yang didapat dari pembelajaran kolaboratif, yaitu implementasi praktis dan tumbuhnya kesadaran interaksi sosial untuk mewujudkan pembelajaran bermakna.

Konsep collaborative learning, pengelompokan dan pemasangan peserta didik untuk tujuan mencapai tujuan pembelajaran, telah banyak diteliti dan dianjurkan; istilah collaborative learning mengacu pada metode pengajaran di mana peserta didik di berbagai tingkat kinerja bekerja sama dalam kelompok kecil menuju tujuan bersama. Peserta didik bertanggung jawab untuk satu pembelajaran orang lain dan juga pembelajaran mereka sendiri. Dengan demikian, keberhasilan seorang siswa membantu siswa lain untuk menjadi sukses (Gokhale, A.A., 1995). Collaborative learning memiliki banyak sekali manfaat seperti dalam bidang sosial, psikologi, akademik, dan tugas, yang dapat dijabarkan seperti berikut:

Manfaat sosial;
- Collaborative learning mendukung pengembangan sistem dukungan sosial bagi siswa
 - Collaborative learning menumbuhkan pemahaman tentang keragaman di antara siswa dan staf
- Collaborative learning menciptakan suasana positif untuk memimpin dengan memberi contoh dan melatih kerja sama tim
- Collaborative learning sedang mengembangkan komunitas belajar Manfaat psikologis;
- Pendidikan yang berpusat pada siswa meningkatkan harga diri siswa
- Kerja sama mengurangi rasa takut
- Collaborative learning memiliki sikap positif terhadap guru
Manfaat akademik;
- Collaborative learning meningkatkan berpikir kritis
- Melibatkan mahasiswa dalam proses pembelajaran
- Meningkatkan hasil pengajaran
- Model keterampilan pemecahan masalah yang sesuai untuk mahasiswa
- Collaborative learning spesifik sangat membantu memotivasi mahasiswa
dalam kurikulum
Alternatif teknik penilaian bagi siswa dan guru;
- Metode pendidikan bersama menggunakan berbagai penilaian.
Keunggulan pembelajaran kooperatif tidak hanya keunggulan, tetapi pembelajaran kooperatif memiliki beberapa manfaat. Menurut Hill & Hill (1993), manfaat pembelajaran kooperatif berkaitan dengan:
(1) pembelajaran yang lebih tinggi, (2) pemahaman yang lebih dalam, (3) pembelajaran lebih menyenangkan, (4) pengembangan kepemimpinan, (5) sikap positif, (6) harga diri, (7) pembelajaran inklusif, (8) sense of rasa memiliki, (9) ) mengembangkan keterampilan masa depan.
Karena banyaknya keunggulan dan manfaat dari pembelajaran kolaboratif membuat pembelajaran menjadi sangat terbuka, maka dalam penerapan konsep kolaboratif tersebut ada beberapa hal yang harus dilakukan untuk menciptakan suasana yang menyenangkan, suasana yang dapat merangsang aktivitas, kreativitas dan produktivitas siswa. Untuk menerapkan pembelajaran kooperatif di Indonesia diperlukan lingkungan belajar yang konstruktivis, sebagaimana dikatakan oleh Driver dan Leach (1993) dan Connor (1990), Waras (1997), lingkungan kelas dengan perspektif konstruktivis harus diciptakan, antara lain sebagai berikut:
(1) Siswa tidak dipandang pasif tetapi aktif dalam pembelajarannya sendiri dan membawa pemahamannya ke dalam situasi pembelajaran; (2) pembelajaran mengutamakan proses pemaknaan aktif siswa dan seringkali melalui negosiasi interpersonal; (3) pengetahuan tidak "di luar sana" tetapi dibangun secara pribadi dan sosial; (4) guru juga membawa perspektif mereka ke situasi belajar, tidak hanya pengetahuan mereka tetapi juga perspektif mereka tentang belajar dan mengajar, yang dapat mempengaruhi cara mereka berinteraksi dengan siswa di kelas; (5) mengajar tidak memberikan pengetahuan tetapi melibatkan pengorganisasian situasi kelas dan merancang tugas yang memfasilitasi sensasi siswa; dan (6) kurikulum bukanlah sesuatu yang harus dipelajari, melainkan program tugas belajar, materi, sumber lain, dan wacana dari mana siswa membangun pengetahuannya.

 Di samping keunggulan dan manfaat pembelajaran kolaboratif, terdapat kelemahan yaitu: (1) memerlukan bimbingan dari guru, (2) kecenderungan untuk meniru satu sama lain, (3) membutuhkan waktu, (4) sulit mendapat rekan dalam kerjasama (Inah & Pertiwi, 2017). Sebelum adanya pembelajaran kolaboratif, murid yang kurang dalam akademiknya akan sulit untuk meningkatkan motivasinya dalam belajar sehingga sulit mengejar ketertinggalannya di kelas, jika ada tugas berkelompok maka yang akan bekerja hanyalah beberapa murid yang pintar dan aktif saja dan nilai murid yang ketertinggalan ini akan ditentukan oleh prestasi atau pencapaian kelompoknya. Guru harus mengatasi masalah tersebut melalui metode pembelajaran kolaboratif. Pembelajaran kolaboratif hadir untuk mengatasi permasalahan tersebut dengan cara meningkatkan kecerdasan interpersonal dan keterampilan kerjasama kelompok agar tidak ada lagi siswa yang tertinggal, karena teman-temannya lah yang akan membantu memberikan pemahaman kepada siswa yang belum paham dan peran guru adalah meningkatkan hasil belajar siswa yang lain serta memberi pemahaman bahwa keberhasilan harus diraih oleh seluruh siswa.
Salah satu contoh model pembelajaran kolaboratif yang berhubungan atau yang dapat mengatasi perumpamaan diatas adalah Academic-Constructive Controversy. Pada saat menerapkan metode pembelajaran ini, setiap anggota kelompok dituntut untuk dapat menemukan dirinya dalam situasi konflik mental dengan anggota kelompoknya, yang berkembang sebagai akibat dari hasil belajarnya masing-masing, maupun dengan orang lain. Anggota kelompok diminta dalam setiap kelompok untuk saling menghargai perbedaan, informasi, ide, dan kesimpulan tanpa paksaan atau kejujuran. Setiap anggota dengan materi yang dibahas tidak menjelaskan siapa yang benar dan siapa yang salah, melainkan mengkaji setiap argumen dari sudut pandang yang berbeda dan mengintegrasikan informasi yang berbeda. Inilah konteks terpenting dalam debat konstruktif (Pratiwi, 2014). Keanekaragaman pendapat, informasi, dan gagasan meningkatkan produktivitas anggota dan mendorong anggota untuk berpartisipasi aktif dalam diskusi. Kegiatan pembelajaran ini mengutamakan pencapaian dan pengembangan kualitas pemecahan masalah, pemikiran kritis, pertimbangan, hubungan antar pribadi, kesehatan psikis dan keselarasan. Penilaian berdasarkan pada kemampuan setiap anggota maupun kelompok yang mempertahankan posisi yang dipilihnya (Hosnan, 2014, p. 315). Sehingga anggota atau siswa diharapkan dapat berpikir secara optimal, terutama berpikir kreatif dan kritis dan dapat aktif mengkoordinasikan pemikirannya sehingga pembelajaran tidak hanya bergantung pada penjelasan guru.
Dalam metode ini, Bickford menjelaskan bahwa terdapat enam langkah dalam pembelajaran konflik konstruktif, sebagai berikut: 1) Pada langkah pertama, guru menanyakan tentang materi didiskusikan saat siswa mengeksplorasi sumber belajar untuk menemukannya informasi, 2) Pada langkah kedua, siswa dibagi menjadi beberapa kelompok, 3)Pada tingkat ketiga, siswa menggunakan bukti dan logika hadir untuk kedua kelompok oposisi dan kelompok oposisi mengungkapkan sudut pandangnya dengan masing-masing kelompok parlementer mengungkapkan hasil pengamatannya, 4) Langkah keempat, siswa berdiskusi di antara mereka sendiri

 menanggapi masalah dengan memberikan sudut pandang mereka dengan bukti dan logika, 5) Tahap kelima adalah siswa menyajikan perspektif kelompok lawan untuk memfasilitasi siswa memahami perspektif lain di luar perspektif aslinya, 6) Pada langkah keenam, siswa rekonseptualisasi dan mengidentifikasi masalah kesamaan antara kedua perspektif kemudian menarik kesimpulan.
Dengan demikian, pembelajaran kolaboratif salah satu model pembelajaran yang dapat meningkatkan kualitas pembelajaran di Indonesia serta dapat meningkatkan motivasi dan keberhasilan belajar siswa. Sebagai contoh, temuan Hayatin Nisa, dkk (2018:157) menunjukkan bahwa pembelajaran kolaboratif dalam konteks pendidikan secara luas dirayakan sebagai praktik yang dapat dikembangkan dan ditingkatkan. Kualitas proses pembelajaran. Collaborative learning dibandingkan dengan upaya kompetitif dan individualistis, memiliki banyak manfaat dan biasanya menghasilkan lebih tinggi pencapaian dan produktivitas yang lebih besar, hubungan yang lebih peduli, mendukung, dan berkomitmen; dan lebih besar kesehatan psikologis, kompetensi sosial, dan harga diri.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun