Mohon tunggu...
Aida Naswa Aulia
Aida Naswa Aulia Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Mahasiswa Fakultas Pertanian Univ. Widyagama Malang. Pengurus UKM KSR Univ. Widyagama Malang. Tutor SMP di LBB Gold Generation Malang. Gadis energik dari Lamongan. :)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pinjaman

1 Agustus 2017   15:17 Diperbarui: 1 Agustus 2017   15:23 526
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebuah perenungan akhirnya berujung di sini. Sederhananya begini, ada seseorang yang melakukan interaksi dengan seorang lainnya, entah keduanya saling mengenal atau tidak.

Orang 1 : Bolehkan aku meminjam mainanmu?

Orang 2 : Tentu saja, pakailah.

Orang 1 : terimakasih.

Orang 2 : sama-sama, tapi besok kembalikan lagi mainanku.

Bisa ditebak bukan, bahwa dengan dikembalikan atau tidak, orang kedua tentu saja akan mengambil kembali mainan miliknya. Secara halus atau paksaan. Itu adalah pinjaman. Inilah yang ingin saya sampaikan di sini.

Sejujurnya, manusia dan segala yang dimilikinya ialah pinjaman dari Pemiliknya, Allah SWT. Maka menjadi sebuah kepastian semua itu akan kembali kepada Pemiliknya. Lagi-lagi, dengan cara halus atau paksaan. Dengan cara yang ia sendiri mau melakukannya atau dirampas. Tolong jawab pertanyaan ini, berapa kira-kira harta yang kamu dapatkan lima tahun yang lalu? Ah tidak. Kamu mungkin akan beralasan "itu terlalu lama, aku sudah lupa. Lagipula, siapa yang mau menghitung uang selama lima tahun?". Baiklah, berapa harta yang kamu dapatkan satu tahun yang lalu?, Satu bulan yang lalu? Atau, satu minggu yang lalu? Jawabannya, sekian dan sekian.

Siapa yang mau memberi uang sebanyak itu? Sebulan, setahun, berpuluh-puluh tahun, siapa yang bersedia meminjamkannya? Tanpa suku bunga?. Simpan dulu jawabannya.

Saya ingin menceritakan dua orang dengan cerita yang berbeda. Orang pertama hampir kehilangan hartanya karena pencopetan. Orang kedua, sudah kehilangan hartanya karena aksi hipnotis atau gendam yang marak di kalangan masyarakat. Sejumlah sekian dan sekian. Orang pertama, hampir menangis, dan berpikir untuk berhati-hati lain kali. Orang kedua, sudah menangis meronta-ronta, menangisi uangnya yang raib, sesuatu yang sangat berharga dengan nominal sekian, dan berpikir untuk sangat berhati-hati lain kali.  Seandainya, cara berpikir kedua orang itu, dan seluruh orang lainnya terhadap kejadian yang telah mereka alami dapat diubah sedikit saja, kira-kira apa yang akan mereka lakukan selanjutnya?

Jika kamu membaca lagi judul tulisan ini, maka kamu akan menemukan jawabannya. Benar pinjaman. Sesiapa yang mau meminjamkan uang, emas, gelar, jabatan, anak, dan lain-lain adalah Allah SWT. Maka sudah menjadi kewajiban mereka -- yang mengalami peristiwa naas tadi, dan kewajiban semua orang untuk mengembalikan apapun milik-Nya. Dan sudah menjadi hak mutlak-Nya untuk mengambil bahkan mungkin merampas pinjaman-Nya, entah mereka bersedia atau tidak.

Kembali ke cara berpikir. Bagaimana jika mereka berpikir bahwa peristiwa itu adalah sebuah teguran. Teguran agar mereka tidak lupa untuk mengembalikan pinjaman-Nya. Tidak lupa untuk membelanjakan uangnya, semata-mata untuk Allah. Banyak masjid yang manusia datangi. Ada yang masuk dengan membawa tas dan dompet tebal, ada yang sekedar mengantongi beberapa puluh ribu rupiah, akan tetapi sedikit sekali yang meninggalkan rupiahnya di kotak amal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun