Selalu saja ada dilema. Nalar atau hubungan emosional? Selalu saja ada persimpangan jalan, kanan atau kiri? Selalu saja ada pertentangan. Inilah seni mengambil keputusan.
Dalam setiap episode kehidupan, setiap orang memiliki cara berpikirnya sendiri. Keputusannya sendiri. Jalannya sendiri. Apakah ini saling menghancurkan dan bertentangan? Bila dari kacamata pribadi, bisa saja seperti itu. Â Namun bagaimana dari sudut global atau helicopter view?
Agresi Belanda ke 2, Saat Belanda memguasai Jogyakarta. Soekarno-Hatta tetap di Istana. Memilih ditangkap dan diasingkan, lalu bernegoisasi. Sri Sultan tetap di keraton Jogjakarta. Seperti Intelejen yang paham kondisi terkini tentang Jogja. Jendral Soedirman masuk hutan dan bergerilya. Sebuah sikap yang berbeda dalam satu kondisi yang sama. Mana yang lebih baik?
Mari membuka biografi atau autobiografi tentang Soekarno-Hatta, Sri Sultan dan Soedirman. Ternyata keputusan mereka yang berbeda, bila disatukan dalam sebuah rangkaian terhubung merupakan satu kesatuan utuh untuk tetap merdeka. Bagaimana bila semuanya masuk hutan? Â Bagaimana bila semuanya bernegoisasi saja? Bagaimana bila tidak ada yang menetap di Yogyakarta untuk melihat strategi Belanda? Berbeda, terpisah namun sebenarnya kesatuan langkah. Padahal mereka berbeda dalam bersikap, namun sebenarnya sebuah keterpaduan.
Soekarno-Hatta-Soedirman berdebat dan berdiskusi panjang tentang sikapnya. Mereka tetap memegang strateginya sendiri-sendiri. Memilih jalannya sendiri-sendiri. Kita melihatnya sebuah perbedaannya. Namun sejarah mencatat ini sebuah strategi komprehensif dari kacamata gerakan nasional menjaga kemerdekaan.
Soedirman tidak setuju dengan perjanjian Roem-Royen. Karena TNI merasa dilecehkan dan dianggap gerombolan bersenjata saja. Namun secara kejiwaan, Belanda tersudut dengan gerakan Gerilya. Harus ada yang paham bagaimana seni bernegoisasi dan selicin ular dalam bernegoisasi. Itulah peran sekelas Soekarno-Hatta. Jadi semua keterkaitan yang tak terpisahkan.
Hidup itu kumpulkan episode drama yang sangat mendebarkan. Saling berbeda, berdebat, beragumentasi terhadap satu kondisi  yang sama. Itulah seni berlikunya kehidupan. Andai semua satu suara, andai semua seperti kerbau yang cokok hidungnya, hidup ini tidak dinamis, tidak ada fragmen seru yang mengharubirukan suasana jiwa manusia. Hiruk-pikuk, sorak sorai, jeritan histeris hanya ada pada drama yang penuh pertentangan.
Pertentangan itu seru. Gesekan pemikiran itu lumrah. Pertarungan idealisme itu sebuah warna. Namun jagalah hati dan keikhlasan. Soekarno-Hatta, Sri Sultan dan Soedirman berbeda dalam bersikap.Â
Namun mereka memiliki satu kesamaan yaitu cinta pada sesama pejuang. Ikhlas berjuang menjaga Kemerdekaan. Itulah yang menyebabkan perbedaan langkah sebenarnya sebuah komprehensifnya sebuah perjuangan.