Mohon tunggu...
Nasrul
Nasrul Mohon Tunggu... Guru - nasrul2025@gmail.com

Pengajar sains namun senang menulis tentang dunia pendidikan, bola dan politik, hobi jalan-jalan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kasih Sayang Ibu seperti Bintang yang Tidak Pernah Redup

21 November 2020   23:08 Diperbarui: 21 November 2020   23:50 380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam ini ada datang ibu siswa ke rumah menanyakan perihal tentang anaknya yang tidak dibolehkan pergi ke sekolah lagi, sebab sudah melanggar peraturan sekolah. Ibu ini minta maaf sebab datang malam malam bukan jam sekolah, alasannya karena ibu siswa ini adalah seorang juru cuci piring pada salah satu warung nasi di daerahnya.

Siswa yang datang  merupakan salah satu siswa yang terciduk tidak masuk kelas pada jam pelajaran, mereka tidak masuk sekolah karena main voli dengan teman temannya yang lain, perbuatan siswa ini sudah dilakukan beberapa kali. Namun, kesabaran seorang guru  kali ini sudah habis, oleh karena itu solusi yang mungkin adalah memanggil orangtuanya.

Dalam penuturan si ibu bahwa memang anaknya bandel dan susah diberitahu, beliau juga sudah menasehati anaknya berkali kali supaya rajin belajar dan tidak berkeluyuran saat pergi ke sekolah.

Namun, semua yang dinasehati oleh ibunyam, anak ini tidak patuh dan tidak mau mendengar, sehingga guru pun kesal dengan perbuatannya yang tidak mau masuk ke kelas. Oleh karena itu, anak ini dipanggil orangtua untuk di nasehati, dan yang mewakili orangtuanya adalah seorang ibu.

Nama  samaran siswa adalah Zainal, dia adalah siswa yang suka bolos dan terlambat masuk kelas. Penulis yang mengenal betul kelakuannya menganggap bahwa kelakuannya sudah di luar dari kontrol orangtuanya terkhusus ibunya.

Saat berbicara sekitar lima belas menit dengan ibu Zainal, ibu ini bercerita bagaimana dia bekerja keras untuk menafkahi anaknya dan menyekolahkan anaknya, bagaimana beliau berhemat satu hari sepuluh ribu untuk anaknya dari hasil kerja harian di waruung nasi sebagai tukang cuci piring.

Saat bercerita mata ibu Zainal seperti berkaca kaca, mungkin beliau mau menangis tapi kayaknya masih malu sama penulis sebagai guru yang baru beliau kenal.

Beliau bilang sama anaknya"mau jadi apa kamu nak jika tidak mau  masuk kelas di sekolah, jangan lah sengsara lagi seperti ibumu ini, cukup ibu saja yang menderita, kamu jangan sampai, nak" kira kira begitulah penuturan seorang ibu kepada anak laki  lakinya.

Dari cerita ibu Zainal, penulis langsung teringat ibu sendiri di kampung, bagaimana ibu penulis berjuang habis habisan untuk bisa anaknya bisa menyambung kuliah dan bisa sarjana. Tapi penulis masih juga belum merasa membuat ibu bangga walaupun sudah menyelesaikan sarjana.

Setelah melakukan perjanjian dengan penulis sebagai guru, maka si Zainal dibolehkan pergi ke sekolah lagi dengan tetap mengikuti aturan sekolah, jika ada satu kali lagi melanggar maka langsung di skor sampai ujian semester ganjil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun