Mohon tunggu...
Pendidikan

Apa Salah UAS Hingga Kau Persekusi?

15 September 2018   01:02 Diperbarui: 15 September 2018   19:01 777
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
bangka.tribunnews.com

Tiga  tahun yang lalu, saat belum genap satu bulan menginjakkan kaki di bumi  lancang kuning, saya begitu haus akan majelis ilmu yang bisa menyirami  hati yang rasanya lama tak ter-update oleh siraman rohani. Beberapa  masjid saya coba untuk sambangi, tapi apalah yang saya dapatkan, hanya kajian-kajian yang ringan dan datar dan tak bisa mengenyangkan  intelektualitas dan spiritualitas saya. 

Sampai pada akhirnya, saya nekat  untuk datang ke kantor Kementerian Agama Pekanbaru hanya untuk  menanyakan adakah kajian-kajian keagamaan yang diadakan oleh pemerintah  setempat. Sebenarnya niat saya menanyakan hal tersebut bukan menekankan  pada ikut kajiannya, tapi lebih kepada mencari referensi tokoh yang bisa  saya jadikan panutan dan rujukan saat saya tinggal di Pekanbaru.  

Obrolan pun mengalir dengan beberapa pegawai kantor hingga salah satu  dari mereka menyarankan saya untuk bergabung dengan Majelis Dakwah  Indonesia, semacam perkumpulan para ulama dan ustadz-ustadz Pekanbaru  yang langsung dibina oleh Kementerian Agama Kota Pekanbaru. Akhirnya,  setelah mengumpulkan berkas-berkas persyaratan, saya pun diizinkan untuk  bergabung dengan Majelis Dakwah Indonesia (MDI) Kota Pekanbaru. Di MDI  saya punya banyak kenalan baru, mereka berasal dari berbagai pesantren  di Jawa seperti Kediri, Jombang, Ponorogo, dan lain sebagainya. 

Dari  merekalah saya belajar banyak mengenai corak keberagamaan di wilayah Propinsi Riau dan sekitarnya khususnya di Kota Pekanbaru yang tentunya  sangat berbeda dengan di Jawa yang sangat kental dengan karakter NU dan Muhammadiyahnya.

Hari itu merupakan jadwal pertama saya untuk  mengikuti pembinaan para da'i dalam rangka persiapan tugas selama bulan Ramadhan 1436 H. Di Pekanbaru, setiap bulan Ramadhan, para da'i yang  terpilih dan telah tergabung di MDI dikumpulkan, dibina, dan  didistribusikan oleh pemerintah setempat untuk menjadi penceramah dan imam sholat di semua masjid yang ada di Kota Pekanbaru. 

Saat pembinaan  itu, saya memilih duduk di deretan kedua. Peserta pembinaan semua berkumpul, tak lama kemudian, datang sosok kurus berpakaian putih dan  berpeci hitam yang kemudian dipersilahkan duduk di depan, tentu saja  bisa ditebak, dialah sosok yang akan memberikan pembinaan kepada para  peserta di hari itu, namanya Ustadz Abdul Somad, Lc. MA atau yang sering  kita kenal dengan sapaan UAS. 

Sebelum dipersilahkan untuk berbicara,  dia lebih banyak diam, wajahnya datar, tangannya di bawah meja, dari  tampilan dan sikapnya itu membuat saya berfikir, apa istimewanya orang  ini? Tapi setelah dia bicara, nampaklah keilmuannya, bicaranya lepas,  lantang tapi santai (sebagaimana khas/karakternya), kadang keluar  kalimat-kalimat tak terduga dan mengundang gelak tawa, dan yang saya  suka saat itu, setiap pembahasan dia sampaikan hadisnya lengkap dengan  pendapat empat imam madzab. 

Tak butuh lama, pada hari itu juga, saya mendapatkan info tentang pribadi UAS, pendidikannya (S1 Mesir dan S2  Maroko), profesinya (Dosen di UIN Sultan Syarif Kasim), organisasinya  (Ketua Lembaga Bahtsul Masail PWNU Riau), dan aktivitas rutinnya  (penceramah di berbagai TV lokal di Riau). Tentu saja, semua itu membuat saya tertarik dengannya. Pikir saya, inilah sosok yang saya cari, orang  yang kebetulan aqidahnya sama dengan saya, aqidah Al-Asy'ariyah  Al-Maturidiyah, apalagi dia masuk dalam struktural kepengurusan di NU.  

Selama di Pekanbaru, saya tidak pernah menemukan tokoh yang lebih NU  dari UAS, apalagi dia banyak dijadikan referensi dalam membentengi  masyarakat dari paham Salafi-Wahabi yang gerakannya sangat masif di  Pekanbaru.

Waktu terus berjalan, saya pun pulang ke Jawa dalam  rangka mengikuti wisuda S2, meski punya nomor kontak UAS, tapi tak sekalipun menghubunginya. Hingga pada akhirnya, saat saya mengisi acara  Lakmud IPNU-IPPNU di salah satu rumah bapak M. Hanif Dzakiri (Menteri  Ketenagakerjaan RI) di Pekalongan, teman-teman banser sedang asyik  ngobrol mengenai UAS dan cadar. 

Saat itu saya tidak "ngeh" bahwa yang sedang mereka bicarakan adalah sosok yang sudah pernah saya kenal.  Hingga pada suatu waktu, di sebuah group WA, ada salah seorang teman  menyentil soal UAS dan memposting fotonya, langsung saja saya komentar,  "Loh, kenal UAS juga toh?", teman yang lain menimpali, "Dia teman saya  waktu di Kairo Mesir", dari situlah obrolan mengerucut ke tema  "Kontroversial UAS" dan membuat saya semakin merasa kurang update  berita, terlebih soal "Kontroversial UAS" yang ternyata masih booming.  

Dalam sebuah diskusi, tentu saja ada yang pro dan kontra. Lalu saya  berada di posisi mana waktu itu? Sebagaimana prinsip saya, lebih dahulu  mengedepankan khusnudzon, dan tidak ikut berkomentar lebih dalam sebelum  ada data-data akurat yang bisa dijadikan dasar untuk memberikan sikap penilaian.

Di media, nama UAS semakin muncul di permukaan, tentu  saja dengan kontroversialnya, terutama di kalangan nahdliyin (saya jadi  teringat pernyataan Ust. Felix bahwa justru dengan kontroversial itulah  kita jadi terkenal). Dalam catatan saya, ada banyak poin pernyataan UAS  yang membuat namanya mencuat saat itu, namun yang akan saya sampaikan di  sini hanya ada dua hal, pertama, soal penilaian UAS terhadap Ketua Umum  PBNU, dan kedua, yang sangat kontroversial yaitu mengenai pandangannya  terhadap khilafah.

#PERTAMA, pandangan UAS terhadap Ketua Umum PBNU.

Dalam  sebuah pengajian, saat UAS ditanya mengenai sosok KH. Said Aqil Siroj,  UAS memberikan penjelasan bahwa Kiyai Said adalah seorang tokoh yang  terindikasi Syiah, dia kemudian memberikan rekomendasi bahwa ada tiga  nama Ulama NU yang bisa dijadikan rujukan yaitu KH. Idrus Romli, KH.  Lutfi Bashori, dan Buya Yahya. Ketiganya, menurut UAS, adalah anti sekulerisme dan liberalisme. 

Penjelasan UAS ini tentu saja mengundang reaksi keras dari warga nahdliyin (terutama Banser), karena selain  dianggap telah menyebarkan berita hoax mengenai ketua umum PBNU juga  secara tidak langsung menyuruh jama'ahnya untuk tidak mengikuti ulama NU  selain daripada tiga nama yang telah disebutkan tadi. Di saat sedang  gencar-gencarnya musuh-musuh NU dari kalangan Salafi-Wahabi terus melemahkan NU, UAS yang dianggap sebagai orang NU justru memukul PBNU dari dalam. 

Pada awalnya, saya hanya menganggap ini sebagai sebuah  miskomunikasi antara UAS pribadi dengan PBNU, secara, UAS tidak pernah  bertabayun soal ini secara langsung ke PBNU, apalagi, UAS dikabarkan  tidak pernah bersilaturrahmi dan kenal dekat dengan orang-orang PBNU  terutama KH. Said Aqil Siroj (tak kenal maka tak sayang). 

Selama ini,  dia mengenal sosok KH. Said Aqil Siroj hanya dari mulut tokoh ormas lain seperti FPI yang notabene sering bersitegang dengan NU sejak zamannya Gusdur atau tokoh HTI yang notanebe berbeda pandangan politiknya dengan  NU. Bisikan-bisikan dari kedua ormas inilah yang barangkali masih  dijadikan pegangan oleh UAS hingga kesalahpahaman masih berlanjut sampai  saat ini. 

Pandangan UAS mengenai ketua umum PBNU ini berimplikasi pada  isu yang disebarkan oleh orang-orang yang anti-NU bahwa NU yang sekarang  tidak seperti NU-nya Mbah Hasyim Asyarie. Dari sinilah muncul NU-GL  (Garis Lurus) yang secara tidak langsung menganggap tokoh NU yang tidak  tergabung dalam NU-GL berarti ke-NU-an sudah tidak lurus lagi.

Dari  poin pertama ini kita mendapat beberapa catatan, di antaranya: (1) UAS sering meminta kepada jama'ahnya untuk selalu bertabayun dan klarifikasi  mengenai ceramah-ceramahnya yang dianggap kontroversial tapi UAS  sendiri tidak pernah bertabayun dan klarifikasi mengenai penilaiannya  yang salah terhadap sosok KH. Said Aqil Siroj. Padahal secara keilmuan, UAS masih jauh di bawah KH. Said Aqil Siroj, pun secara usia. Jadi tidak  berlebihan jika ada yang menyebutkan bahwa UAS tidak punya adab kepada  PBNU. 

Sebenarnya kalau kita mau korek-korek di warga nahdliyin, ada  banyak sekali yang keilmuannya sama bahkan melebihi UAS (terutama dalam  masalah hadis), hanya saja mereka lebih memilih untuk "ngopeni santri offline" dari pada harus berceramah di sana-sini dan terkenal di media.  (2) UAS yang dikenal lihai dalam "menggebug" ajaran Salafi-Wahabi justru  mengambil sikap beragama mereka, bahwa, yang tidak sepemahaman dengan  kita adalah salah dan jangan diikuti. Karakter kolot ini yang barangkali  membuat UAS susah untuk mencair dengan Banser sebagaimana mencairnya  UAS dengan Kokam, Laskar FPI, HTI, dan Pemuda Pancasila.

#KEDUA, pandangan UAS terhadap khilafah.

Untuk  membahas poin ini, kita perlu tahu terlebih dahulu sekilas beberapa  ormas yang sangat berkaitan dengan keber-agama-an UAS, dalam hal ini  adalah NU, FPI, dan HTI, yang kemudian kita kaitkan dengan posisi UAS di  antara ketiganya.

#NU (Nahdlatul Ulama) adalah ormas yang jelas  landasannya (al-Qur'an, Hadis, Ijma', dan Qiyas), dengan menjadikan Imam  Abu Hasan al-Asy'ari dan Imam Abu Mansyur al-Maturidi sebagai rujukan  aqidahnya, empat imam madzab sebagai rujukan fiqihnya, dan Imam  al-Ghozali dan Imam Junaid al-Baghdadi sebagai rujukan Tasawufnya,  dengan pandangan politik yang mengikuti Abu Hasan Ali bin Muhammad  al-Mawardi dengan ijtihad KH. Hasyim Asyarie dan para pendiri NU lainnya. Dari sini bisa kita lihat kejelasan sanad keilmuan yang dipakai  oleh NU baik dari segi aqidah, fiqih, tasawuf, serta keilmuan lainnya  yang mutawatir ajarannya sampai kepada Rasulullah shollallohu 'alaihi wa sallam.

#FPI (Front Pembela Islam) adalah organisasi Islam yang  saya sebut sebagai gerakan konservatif yang muncul pasca lengsernya masa  orde baru. Barangkali ormas ini muncul karena bom waktu yang selama  masa orde baru sebagian umat Islam tidak sedikitpun diberikan cela oleh pemerintah untuk mengekspresikan gerakan yang memperjuangan penegakkan syariat Islam di tengah-tengah negara demokrasi. 

Secara aqidah, fiqih,  bahkan tasawuf, FPI sama dengan NU. Bahkan almarhum KH. Hasyim Muzadi   (mantan Ketua Umum PBNU) pernah bercanda bahwa FPI itu ya anak  "mbontot"/bungsunya NU, karena mbontot itulah kadang suka "mbeler"/nakal. Yang dimaksud nakal di sini karena FPI memang dikenal  keras dalam ber-"nahi munkar" bahkan terkadang sering berseberangan  caranya dengan NU. 

Barangkali faktor inilah yang memunculkan kontroversial karena tidak semua muslim sepakat dengan cara ber-"nahi  munkar"nya FPI. Namun demikian, di tengah-tengah kehidupan demokrasi  yang hampir serba bebas ini (terlebih adanya dalih perlindungan HAM),  FPI diperlukan sebagai daya kontrol masyarakat agar kehidupan bernegara  tidak melenceng dari nilai-nilai ke-Islam-an.

#HT (Hizbut Tahrir)  adalah gerakan politik global yang berlandaskan Islam dengan agenda  besar pembentukan "khilafah al-Islamiyyah 'ala minhajin nubuwwah". Jika ditambah huruf "I" berarti Hizbut Tahrir Indonesia. Secara aqidah dan  fiqih, HTI tidak ada pedoman tertulis yang mengikat, pun secara tasawuf,  mereka ada yang memakai tasawuf dan ada pula yang tidak (mayoritas  tidak bertasawuf). Lalu faktor apa yang bisa menyatukan mereka? tentu saja visi mereka yang sama, yakni "KHILAFAH". 

Mereka mengklaim bahwa  hanya dengan jalan khilafah syariat Islam bisa ditegakkan secara kaffah.  Lalu apa bedanya HTI dengan FPI? jelas beda, jika FPI hanya menuntut penegakkan syariat yang tetap dalam bingkai NKRI, sedangkan HTI sudah mengarah pada perubahan sistem yang mengharamkan demokrasi. Karena  alasan inilah kemudian Hizbut Tahrir dilarang/dibubarkan di berbagai  negara termasuk di Indonesia baru-baru ini.

Lalu dimana posisi UAS diantara ketiga ormas tersebut?

#Secara  aqidah, fiqih, dan rujukan tasawuf, UAS sama seperti NU, artinya sama  juga seperti FPI dan "sebagian" orang HTI. Bahkan ketika beberapa kali  berceramah di kalangan Muhammadiyah, UAS menegaskan bahwa amaliyah  sholatnya adalah ala NU dengan tidak menyalahkan kaifiyah sholat yang  berbeda dengan NU (selama kaifiyah tersebut ada dalil hadisnya).

#Secara  corak dakwahnya, UAS lebih cocok disamakan dengan da'i-da'i atau  ulama-ulama FPI, tegas dan keras, mungkin karena persamaan inilah UAS  mengakui sangat mengagumi Imam Besar FPI, Habib Rizieq Shihab, bahkan  UAS pernah menukil sebuah pendapat dari Habib Salim Asy-Syatiri (Ulama  asal Yaman) bahwa ulama macam Habib Rizieq Shihab adalah ulama yang langka yang adanya 800 tahun sekali.

#Secara pandangan politik,  UAS adalah ulama yang pro dengan khilafah. Hal ini dibuktikan dengan  ceramah-ceramahnya yang secara langsung memberikan dukungannya terhadap  khilafah. Di sinilah letak kesamaan UAS dengan orang-orang HTI, ormas  yang telah dibubarkan oleh pemerintah karena terbukti telah memperjuangan khilafah di bumi NKRI. 

Sebagai orang NU, mestinya UAS  lebih memilih untuk mengikuti ijtihad para pendiri NU yakni dengan  menjaga bersama keutuhan NKRI. Saya jadi teringat dawuh Mbah Maimoen  Zubeir bahwa orang NU yang nggak setuju dengan P.B.N.U (Pancasila,  Bhineka Tunggal Ika,  NKRI, UUD 45) berarti "gak patek NU" (nggak terlalu NU), atau bisa dibilang ke-NU-annya tidak kaffah meskipun dia  pernah masuk dalam struktural NU.

Dari poin kedua ini kita  mendapat beberapa catatan, diantaranya: (1) Secara aqidah, fiqih, dan  amaliyah, UAS mengikuti NU dan FPI, sedangkan secara pandangan politik, UAS mengikuti HTI (meskipun belakangan ini suka bertaqiyyah). (2) Hingga  sampai saat ini, UAS tidak pernah mencabut pernyataannya yang telah  mendukung khilafah, hal ini berdampak pada kepercayaan sebagian warga  nahdliyin (terutama Banser) bahwa UAS berpotensi menumbuh-suburkan  kembali benih-benih HTI di kalangan anak muda khususnya mereka yang  punya pengetahuan agama setengah-setengah yang hanya gemar ngaji lewat  youtube.

Sebagai tambahan saja, terlepas dari pro dan kontra UAS,  kehadirannya di publik sebagai da'i sekaligus ulama ahli hadis yang beramaliyah NU dan berkarakter tegas dan keras seperti FPI, UAS sangat  lihai menghajar pendapat orang-orang Salafi-Wahabi yang gemar  membid'ah-bid'ahkan amaliyah NU seperti yasinan, mauludan, laku tarekat,  dan lain-lain. 

Jika kita mau memperhatikan dengan seksama, hadirnya UAS  sedikit banyak telah memberikan pengertian kepada ulama-ulama  Salafi-Wahabi, minimal, mereka yang dulunya lantang menyuarakan "yang tidak dicontohkan nabi adalah bid'ah sesat masuk neraka", sekarang sudah  agak halus "okelah itu boleh dan baik, tapi kan... ". Bagi ulama  Salafi-Wahabi yang masih tetap kolot dengan pendiriannya, mereka menyebut UAS dengan "Ustadz Subhat", padahal di sebagian warga nahdliyin  sendiri UAS sudah diberikan sebutan "Ustadz Hoax".

Jika ada yang bertanya, "Kapan kesalahpahaman antara UAS dengan  sebagian kaum nahdliyin (khususnya Banser) bisa selesai?", maka jawab  saja, "Jika UAS sudah sowan ke Pekalongan dan bertemu dengan Habib  Lutfi". Wallahu a'lam bishshowab ...

 #SalamDamai dan #SalamSantun

Ditulis oleh: Nasrudin Rahmat (Lakpesdam PCNU Kota Pekalongan)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun