Mohon tunggu...
Dewi Anggar
Dewi Anggar Mohon Tunggu... -

Aku terhenyak, Senyuman membias makna, melambung harapan, mengikis mimpi lalu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Surat untuk Tamu

26 Mei 2015   08:51 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:35 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Akhirnya kita berdiri di ambang batas antara fana dan nyata. Kedirianku yang lumpuh mengecap bumi kini tersesaki tangis dan air mata yang terserap tanah. Aku menelanjangi diriku dalam barisan kata tentang rindu. Barisan kata tentang buncahan cinta. Barisan kata tentang luka. Rasanya seperti puluhan jarum yang kembali terlesatkan tepat di sudut tersensitifku. Seperti kebiasaan lama, kau selalu membawa silet dibalik punggungmu. Membelah setiap bekas sayatan yang belum juga pulih. Dan aku kembali terluka.

~0o0~

Pandanganku berpendar pada empat sisi kamar tidurku. Menyapu satu demi satu perabot dalam kamar mungilku. Rak buku, tempat tidur, lemari, cermin, televisi, lantai yang tidak lagi putih, juga laba-laba dan jejaringnya. Melihatnya satu demi satu hingga akhirnya pikiranku tersedot dalam putaran arus,memutar menembus batas waktu. Terdampar ke dalam jerat masa yang menjadikan semua benar atas nama cinta.

Langit membiru di penghujung malam. Burung malam mengepak sayap berburu pulang. Berganti sosok seorang demi seorang menghidupkan pagi. Ini masih pagi. Dan Jakarta sudah menari. Keriuhan kota tak lantas membuatku gentar menapakinya. Setelah perjalanan panjang, seorang gadis kampung sepertiku akhirnya menapaki ibu kota. Tertatih, tertipu, dan hilang dalam kerumunan orang-orang kota. Kepalaku kurasakan sakit. Benjol membesar akibat terantuk sepanjang perjalanan. Kuperhatikan seluruh tubuhku. Kucel. Sama sekali tidak sedap dipandang. Ah, apa peduliku. Pada akhirnya aku menjejak ibu kota. Pada akhirnya aku bisa melakukan sesuatu untukmu. Apalagi kalau bukan sekedar mencarikanmu referensi bekal menjadi sarjana. Ya, aku disini untukmu. Aku disini demi kelulusanmu. Aku disini demi senyum dan bangga orangtuamu padamu. Memikirkan itu ibarat menyiram air segar ke dalam panas pikiranku. Membasuh hati yang dongkol karena segenap tipu daya Jakarta. Aku tidak peduli. Seberapa buruknya aku, seberapa kotornya aku, seberapa aku menyebut ini perjuangan, selama ini untukmu, aku senang memikirkannya.

Aku menembus banyak perlintasan jalan raya. Berganti memasuki stasiun. Menyeberangi jalan-jalan, menembus rinai hujan yang otomatis membuatku kuyup. Berjalan melintasi jarak dengan setapak demi setapak demi sebuah buku yang akan mengantarmu ke gerbang wisudawan. Ah, temanku sesekali mengomel. Cerewet sekali dia. Tak tahukah dia tentang perngorbanan dalam cinta?Akan kucatat dia dalam sejarah pengorbanan cintaku kelak. Saat kita berjalan bersisian dalam ijab kabul yang nyata, akan kukatakan padanya: inilah cinta yang membuat kita menyusuri kota Jakarta di tengah hujan. Aku tersenyum membayangkannya.

Kami berjalan berkejaran. Tersesat di beberapa ruas jalan. Sesekali berteduh di beberapa halte. Tak mengapa, bayangmu mengenakan toga adalah harga yang pantas untuk malam ini. Mengingat kita akan berfoto bersama dan kau mengenakan jubah kebesaranmu, hatiku melambung. Ini hadiah dari surga pikirku. Dipertemukan denganmu tak ayal adalah kado yang sudah selayaknya kujaga dan kuperjuangkan. Bukan begitu sayang? Terimakasih telah mengajakku melambung begitu tinggi. Aku menyayangimu. Sungguh.

~0o0~

Ini malam kesekian semenjak terakhir kali kita duduk di sudut kampus. Terdampar jauh ke belakang, pada masa di mana malam yang fantastis berubah menjadi malam tak berujung bagiku. Kita melaju liar meliuk di antara kepadatan jalan raya. Aku berseru, tertawa, menyorakimu. Kau selalu bisa menjadi pembalap handal bagiku. Kita menembus lampu merah tanpa mengenakan helm dan tertawa bersama. Lagi-lagi ini tentang buku. Kau membantuku menyiapkan buku untuk kuliah perdanaku. Menelusuri satu demi satu toko buku, bergandengan tangan, serta melantunkan lagu bersama. Membicarakan perihal masa depan, mendesain rumah idaman, menyusun hari yang akan terlewati bersama.Manis sekali. Ini cinta pujangga rock. Ini cinta yang mendayu. Ini cinta kita.

~0o0~

Malam itu puluhan klakson dan teriakan menyumpah menyerapah kita. Dan kita pun berlenggang tak tahu diri. Menutup telinga atas setiap umpatan dan tertawa dalam rinai yang menggelora. Ini adalah satu dari sekian hal yang membuatku jatuh dalam pelukanmu. Kau terlalu gila dan kau serampangan. Dan aku menikmati arusmu. Pergolakan gaya hidup yang jauh dari kata teratur. Aku berhasil kau taklukkan dengan celanamu yang sobek tak beraturan, dengan rambutmu yang tidak pernah rapi, dengan baju kutang yang kuakui kau begitu percaya diri memakainya. Pesonamu berhasil menutup telingaku dari bisikan kasar tentang penampilanmu. Kutepis pandangan mereka bahwa kau bajingan. Bahwa kau brengsek. Kau adalah kau yang berhasil menekuk lututku tak berdaya. Kau adalah kau yang berhasil menyumpal segala ocehanku. Kau adalah kau yang telak telah memikatku. Aku teerjaring olehmu. Dan itu indah.

Malam merangkak dalam detakan jam yang tidak pernah berjalan mundur. Berjalan bersisian disaksikan bulan dalam keremangan cahaya lampu. Rasanya seperti mimpi. Buncahan gelora belum juga tertepikan. Dan plak…! Sekejap kebahagiaan itu menguap. Kau mengantarku ke gerbang rumahku. Ditemani malam dan angin yang memeluk kita, matamu menerawang menembus sudut batas. Bibirmu mengalunkan untaian kata yang berusaha kucerna. Kalimatmu mutlak membungkam mulutku. Terucap betapa bersyukurnya kamu memilikiku. Kugenggam tanganmu erat, dan kurasakan kau mulai menepis. Ada goncangan hebat saat kumulai melambung tinggi. Tangan-tangan hitam menarikku terjatuh dari buaian kata yang menerbangkanku. Kutatap matamu dalam. Persendianku tiba-tiba gemetar. Perutku mengisyaratkan gangguan psikosomatis, mulas tak tertahankan. Perlahan kau meraih tanganku, mengucap satu dua kata yang terpantul dalam otakku. Aku diam bergeming. Daun kering jatuh tersentuh angin. Aku pun dingin dalam belaiannya.

~0o0~

Kau melenggang pergi. Dan kita pun selesai.

~0o0~

Inikah babak baru yang mempesona? Atau adakah seletingan kisah yang akan menuai akhir indah?

Kurasa derita itu belum berakhir.

Dalam setiap untaian doa, tak pernah alpa namamu kusebut. Berharap kau menjadi pria yang bisa kutumpukan harapan masa depanku. Berharap kita bisa menaiki pelataran surga bersama. Berharap Tuhan mengikat batin kita hingga nyawa meregang dan kita tetap dalam satu tumpuan. Berharap kisah kita menjadi kekal dan tak terkalahkan. Persetan dengan masa, persetan dengan budaya. Pun dengan adat. Atau apalah namanya, sebuah istilah yang sering kau ucap sebagai tembok terbesar dalam jalinan kisah kita. Seandainya aku cukup mampu, akan kuupayakan melebur dinding diantara kita. Seandainya aku mampu…

~0o0~

Bukan satu dua kali harapan itu terlantun dalam doa di setiap akhir kencanku dengan Tuhan. Sungguh, tak seharipun namamu tidak terselip dalam doaku. Hanya kau yang adukan pada Maha Kekasih. Menghujat kasih yang dia tancapkan begitu dalam di rongga tempatku menghela napas. Mungkinkah kau melakukan hal yang sama untukku? Tanyaku menguap disapu angin.

~0o0~

Aku tak pernah memaksamu kembali padaku. Sama seperti aku yang tak pernah memetik bunga yang tengah berkembang. Juga tak pernah sekalipun aku mengemis ataupun sekedar menangis di depanmu. Aku adalah sosok kuat dan tegar di matamu. Aku selalu tampil bak karang di depanmu. Kau hanya tak tahu betapa aku melewatkan malam-malam dengan tangis saat merindumu. Tangis yang kutampung dalam kantung mataku saat setiap kata-katamu tajam menohok jantung. Tangis yang tertampung kala aku menunggu kabar atas pengabaianmu padaku. Ironis.

~0o0~

Tak berbilang ratusan nasihat yang melenggang di telingaku. Tak terhitung pula larangan yang sampai kepadaku untuk berlari kembali padamu. Rasanya aku hampir gila saat kaki dan hati kompak menyiksaku untuk berlari kepadamu, realita menamparku mundur. Menyadari bahwa malam telah menjadi saksi betapa kau telah mencampakkanku. Kulihat diriku teronggok dalam dekapan rumput yang makin meninggi. Menatap gerbang tempat terakhir kali kita bertemu.

~0o0~

Apa jadinya kamu tanpaku? Kalimat ini seringkali kau tanyakan padaku dulu. Aku ingat betapa aku dengan penuh percaya diri meyakinkanmu bahwa aku akan hidup sebagaimana mestinya walau tanpamu. Ingatkah kau dengan itu? Nyatanya itu hanya bualan. Aku patah. Patah dan tak utuh tanpamu.

Puluhan babak baru bermunculan. Hari berganti bulan, bulan menetas menjadi tahun. Toh kita tidak pernah menyatu. Juga tidak pernah benar-benar berpisah. Ada saat dimana dirimu muncul di malam-malam aku mengenangmu. Berbincang dan kembali saling menggenggam satu sama lain. Kembali membicarakan mimpi yang akan kita bangun bersama walau tanpa janji. Mengawali dari titik nadir. Bukankah itu manis sekali?

Kau tahu, aku tidak pernah peduli bahkan jika ragaku habis melebur menjadi abu. Aku juga tidak peduli jika seluruh sisa hidupku kuhabiskan dalam derita denganmu. Sering kali kubayangkan masa depan dengan rumah kecil yang kita punya. Sebuah kamar dengan ukuran kecil tempat kita bisa melakukan segalanya. Sebuah kursi kayu tempatku duduk menantimu pulang kerja. Mengimpikan itu membuatku tersenyum penuh gairah. Mimpi mengayuh biduk keluarga bersama. Ah, mimpi. Aku memang seorang pemimpi. Kau tau pasti itu. Sesuatu yang membuat kita semakin berbeda. Menyadari betapa realistisnya dirimu, dan betapa aku sibuk membangun mimpi.

Aku ingat betapa kita sering kali berdebat perihal banyak hal. Kau sering kali menganggapku sebagai Wikipedia ataupun kamus berjalan yang tahu segala hal. Sementara kau sibuk bertanya ini itu dan aku terdesak dalam ketidaktahuanku atas seluruh pertanyaanmu yang mendetail. Lucu membayangkan wajahmu yang kusut saat kusodori buku untuk kau baca. Kau bahkan tidak mengeluh saat kutumpukan pada harapan dan impian yang tinggi terhadap masa depanmu.

Sungguh, aku tidak peduli dengan apa jadinya dirimu di masa depan. Aku hanya ingin kau menjadi lebih dari apa yang kau gapai sekarang. Kenapa? Karena aku tahu, kau punya sesuatu yang lebih di atas orang-orang yang kukenal. Dan aku punya segudang motivasi untuk terus mendukungmu. Kalaupun kau mengabu dalam ketidaktahuan, tidak masalah bagiku, aku menerimamu dalam setiap kekurangan dan aku yakin bisa bertahan bersamamu. Aku hanya peduli kau ada bersamaku. Hanya itu.

~0o0~

Ini malam mendekati hari ke 365 saat kau menjauh meninggalkan gerbang rumahku. Hujan deras mengguyur. Sesekali kilat menerangi malam yang merangkak semakin malam. Dan aku disini bersamamu. Duduk di selasar kampus, memandangi hujan dalam rinai yang sedang. Tanganku menutup kedua telingamu. Mencoba melindungimu dari serangan kilat dan guntur. Aku tahu kau selalu takut guntur. Aneh bukan. Aku yang selalu takut kepada hujan malah berdiri di garis terdepan melindungimu dari bebunyian malam. Malam ini rasa kembali mengikat kita. Bukankah kita memang tak pernah benar-benar berpisah?

Kita kembali bergumul dalam satu dekapan rindu. Menyulam malam dalam genggaman tangan. Menatap langit dan menikmati lantunan cucuran air. Tubuhmu mendekapku hangat. Kuat. Aku diam mematung. Menikmati setiap jalaran rindu yang melintasi seluruh urat nadiku.Aku gemetar saat kau mulai mencium bibirku. Ini seperti babak lama yang kunanti. Saat kau mendekapku dan kubisikkan kata rindu padamu. Kau tahu seberapa lama aku menunggumu? Kau tahu seberapa lama aku meratap mengharapmu? Dan malam ini, kembali aku merasa bahwa kasih telah membungkus kita dalam satu balutan hangat. Sama seperti saat kita melewatkan malam menghitung sejumlah bintang yang susul-menyusul berjatuhan di lembah indah tempat kita saling mengikat janji dalam bisu. Aku tidak akan pernah melupakan malam itu. Saat kau mendekapmu dalam tidurmu dan kita berbagi dalam satu selimut. Kala itu, bahkan tak sedikitpun berhenti kurapalkan doa tentangmu, tentang kita: perkenankan kami menjadi halal ya Tuhan.

Malam itu ku minta kau kembali mempelajari hati, kurasa itu jauh lebih baik. Dan kuanggap ini adalah ijabah Tuhan atas lantunan doaku.

~0o0~

Kupandangi langit-langit kamarku. Putih. Juga empat sisi dinding kamarku. Warnanya pun putih. Aku berbaring dalam penat yang memenuhi otakku. Dalam sesak yang memenuhi dadaku. Dalam luka yang kembali menyobek jantungku.

Aku ingat bagaimana kita membuat janji temu untuk hari esok. Itu adalah hari yang sudah lama kunanti. Tak lupa kuhitung satu demi satu hari yang berguguran atas janji pertemuan kita. Janji yang berhasil membuatku kembali merekahkan senyum. Janji yang kembali membuatku menyulam mimpi. Nyatanya aku terblok dalam usapan janji dan mimpi. Nyatanya semua itu tak kunjung jadi nyata. Telah kupersiapkan segalanya, hingga satu kabar darimu telak memukul jantungku. Aku lemas tak berdaya.

~0o0~

Apa kau gila? Ini tepat tengah malam saat kau kembali menyelipkan goresan sayat atas mimpiku. Menghempasku tak kenal ampun.

“Aku akan menikah.”, sayup suaramu memenuhi ruang di otakku.

Ini sebuah kejutan. Menikah? Apa kau gila? Kau akan menikah dengan orang lain setelah apa yang telah kita lalui bersama? Kau telah kehilangan apa yang kusebut waras. Apa kau gila? Kau akan menikah setelah semua penantian atas terjamahnya mimpi-mimpiku padamu? Bahkan ternyata Tuhan tak sekalipun mengijabah doaku. Aku telah salah mengartikan setiap tanda. Bunyi hewan malam mengabur seiring kalimatmu yang mengiang.

Apa aku sama sekali tak menarik bagimu? Atau aku tak cukup layak mendampingimu? Lantas untuk apa kita membuat janji melepas rindu esok hari? Untuk apa umbaran kata rindu yang kau ucap sedetik yang lalu? Untuk apa kita memupuk kasih, rindu, dan membungkusnya dengan satu balutan luka yang menganga?

~0o0~

Inikah akhir sebuah perjalanan?

Inikah akhir sebuah penantian?

Inikah akhir sebuah doa?

Wajahku bengkak tak keruan. Mataku menyipit. Rona itu mengabur hingga kehilangan warna. Aku telah berhasil kau patah. Ini bukan kali pertama kau melakukannya. Meskipun mungkin, inilah akhir patahan itu. Nyatanya kau tetap tidak memilihku. Nyatanya rindu dan kasih itu hanya bisnis omong kosong dan bualan yang tak punya bobot. Nyatanya aku tetap disini dan kau tengah sibuk menyiapkan undangan pernikahanmu. Kau tahu seberapa menyakitkannya itu? Hanya menjadi tamu yang sejenak mengisi ruang hidupku setelah mengambil begitu banyak potongan darinya? Apa kau pikir kau punya cukup kuasa untuk menelanjangiku dalam kesedihan yang mendalam.

Aku sudah cukup mengenas malam ini.

Kuputuskan membalur seluruh luka dan pergi diam-diam. Cukuplah kau menjadi tamu yang hanya datang sejenak lalu pergi. Cukuplah kau seperti itu. Karena aku juga sudah cukup menjadi seperti ini. Ini sudah berakhir. Inilah akhir sebuah takdir. Berakhir.

Selamat tinggal.

Dariku yang merasa ini sudah cukup.

~0o0~

Nasridawaty

DATA DIRI:

Nama: Nasridawaty

Nomor Telepon: 085255367434

Akun FB: Nasridawaty

Email: nasrida_BK@yahoo.com

Id Line: nasrida1212

PIN BB: 53DE3439

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun