Nama hakim Djuyamto belakangan ini menjadi perbincangan ditengah kasus korupsi fasilitas ekspor minyak crude palm oil (CPO) di Kementerian Perdagangan yang melibatkan tiga korporasi besar yakni Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group. Tidak tanggung-tanggung kasus korupsi ini diperkirakan merugikan negara sebesar Rp.6,47 Triliun
Djuyamto ditetapkan sebagai tersangka bersama 2 hakim lainnya yakni Agam Syarif Baharuddin dan Ali Muhtarom. Ketiganya disinyalir menerima suap dari penanganan perkara ini sebesar Rp. 22,5 Miliar dengan memberikan putusan lepas (onslag van recht vervolging). Menarik untuk menelusuri rekam jejak sang pengadil yang diakui oleh mantan Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD sebagai hakim yang jujur.
Djuyamto diketahui merupakan seorang hakim kelahiran Sukoharjo, Jawa Tengah. Lahir pada tanggal 18 Desember 1967. Menyelesaikan Pendidikan Strata Satu (S1) di Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Solo pada Tahun 1992. Kemudian menempuh jenjang Strata Dua (S2) di kampus yang sama dan selesai pada tahun 2020. Djuyamto kemudian melanjutkan Pendidikan ke jenjang Starta Tiga (S3) masih di kampus yang sama dan selesai pada tahun 2025 dengan IPK 3,9. Djuyamto mengangkat judul disertasi “Model Pengaturan Penetapan Tersangka oleh Hakim pada Tindak Pidana Korupsi Berbasis Hukum Responsif”, yang justru kini dirinya terjerat kasus korupsi.
Djuyamto mengawali karirnya sebagai hakim di Pengadilan Negeri (PN) Tanjungpandan Kepulauan Bangka Belitung pada Tahun 2002. Kariernya kemudian berlanjut ke Pengadilan Negeri (PN) Temanggung kemudian ke Pengadilan Negeri (PN) Karawang Jawa Barat hingga tahun 2012. Hakim Djuyamto juga pernah bertugas pada tahun 2013 sebagai Hakim Yustisial dan Panitera Pengganti di Mahkamah Agung. Tahun 2016 Djuyamto kemudian menjadi Ketua Pengadilan Negeri (PN) Dompu Nusa Tenggara Barat. Dua tahun kemudian beliau dimutasi ke pengadilan Tinggi (PT) Bandung Jawa Barat tepatnya ditahun 2018. Setahun kemudian berpindah lagi ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan hingga ini.
Mengemban tugas sebagai sekretaris bidang advokasi Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) dan pejabat humas di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Djuyamto sempat menangani kasus-kasus besar yang menyita perhatian masyarakat. Kasus penyiraman air keras terhadap mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan (2019), Kasus penembakan Brigadir Polisi Joshua Hutabarat Nofriansyah Yosua Hutabarat yang melibatkan mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri Inspektur Jenderal Ferdy Sambo (2022) dan terakhir memimpin siding praperadilan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Hasto Kristiyanto.
Namun rekam jejak mentereng Djuyamto berakhir ditangan Kejaksaan Agung yang pada tanggal 14/4/2025 menetapkannya bersama dua rekan sejawatnya Agam Syarif Baharuddin dan Ali Muhtarom sebagai tersangka suap dalam penanganan kasus korupsi fasilitas ekspor CPO di Kementerian Perdagangan medio Januari sampai dengan April 2022. Menarik untuk mengikuti kelanjutan dari babak baru penegakan hukum di Indonesia dalam memberantas hakim-hakim nakal yang berlindung dibawah aturan kekuasaan kehakiman yang independensi dan imparsialitas. Hakim tidak bergantung kepada orang lain dan hakim tidak berpihak. Namun kenyataannya hakim jujur seperti Djuyamto harus masuk pusaran perkara korupsi yang seharusnya harus dijauhi.
Seperti kata pepatah “Tiada Gading yang Tak Retak” tiada manusia yang luput dari kesalahan. Djuyamto yang bergelimang karier mentereng akhirnya berakhir memakai rompi tahanan. From Hero to Zero.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI