Mohon tunggu...
Irfan Tamwifi
Irfan Tamwifi Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar

Pengajar yang terus belajar apa saja

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bahasa Indonesia di Makkah dan Madinah

17 September 2016   01:45 Diperbarui: 17 September 2016   02:09 534
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Masyarakat Indonesia yang hendak berangkat haji ke Makkah dan Madinah sedikit banyak pasti dibayangi kekhawatiran akan kesulitan berbahasa Arab. Calon jamaah haji yang mampu berbahasa Arab mungkin lebih siap mental dalam urusan berkomunikasi dengan petugas dan masyarakat di Arab Saudi, sekalipun bahasa Arab yang dipakai oleh petugas dan Masyarakat Arab Saudi kebanyakan adalah bahasa Arab awam (Amiyah). Bahasa Arab tersebut berbeda dari bahasa Arab baku yang diajarkan di madrasah dan pesantren.

Bagi masyarakat yang awam bahkan sama sekali tidak mampu berbahasa Arab sudah pasti dibayangi kekhawatiran saat pertama kali menginjakkan kaki di negeri minyak tersebut. Mereka umumnya mengandalkan petugas pemandu ibadah haji baik dari pemerintah maupun kelompok-kelompok bimbingan ibadah haji (KBIH) sebagai tumpuan harapan dalam berkomunikasi dengan petugas bandara.

Namun kekhawatiran tersebut seketika sirna saat berwajah Arab menyapa dan memberi instruksi pada calon jamaah haji dengan bahasa Indonesia. "Maju... Maju" atau "Berbaris dua-dua" dengan aksen yang sedikit aneh menjadi kejutan pertama. Kita mungkin mengira hanya itu yang mereka bisa atau hanya beberapa petugas Bandara di Arab Saudi yang bisa berbahasa Indonesia, ternyata tidak.

Di setiap pos pemeriksaan di sepanjang lorong hampir semua petugas menyapa atau memberi instruksi dalam bahasa Indonesia. Saat hendak keluar bandara hingga terminal bus calon jamaah haji juga disambut oleh beberapa orang yang membagikan makanan gratis atau leaflet sambil teriak, "Silakan ambil, halal... Halal... Gratis... Gratis", atau awak bus yang teriak"Naik.. Naik"

Demikian juga saat tiba di maktab, para pedagang hingga menyambut dengan sapaan, "Selamat datang, masuk... Masuk" atau pedagang gencar menawarkan dagangannya, "Ayo, silakan murah... Murah". Nyaris tidak dijumpai petugas hotel atau masyarakat yang bicara pada calon jamaah haji dengan bahasa Arab. Sekalipun terpatah-patah, mereka berusaha berbahasa Indonesia.

Hal yang sama dapat dijumpai di tempat-tempat peribadatan di Masjidil Haram di Makkah, masjid Nabawi di Madinah, maupun tempat-tempat ziarah lainnya. Apalagi di pusat-pusat perbelanjaan mulai dari kaki lima, toko-toko kecil, sampai super market di sekitar Masjidil haram. Jamaah haji Indonesia, terutama ibu-ibu ramai tawar-memawar barang layaknya pasar-pasar tradisional di Indonesia.

Situasi menjadikan jamaah haji Indonesia umumnya tidak merasa asing meski berada di negeri orang. Meski dengan kemampuan bahasa Indonesia yang terbatas, petugas, masyarakat bahkan anak-anak kecil di kedua kota suci tersebut berusaha lebih komunikatif dengan masyarakat Indonesia. Beberapa toko yang dikelola masyarakat lokal baik yang berwajah Arab maupun India bahkan melabeli tokonya dengan nama Toko Indonesia.

Hal ini sepertinya tidak lepas dari begitu banyaknya jamaah haji dari Indonesia. Ke arah manapun mata memandang selalu ada orang Indonesia. Di berbagai sudut kota, mulai dari tempat ibadah, tempat ziarah, terminal apalagi di pertokoan dan pusat-pusat perbelanjaan selalu dapat dijumpai orang Indonesia dengan berbagai kekhasan fisik dan penampilannya. Animo masyarakat Indonesia untuk menjalankan ibadah haji menjadikan kedua kota ini bukan lagi negeri asing.

Situasi ini rupanya dibaca oleh para pengusaha di kedua kota tersebut sebagai pasar yang menjanjikan. Mereka berusaha merebut pasar tersebut dengan menguasai bahasa Indonesia. Dengan belajar langsung kepada jamaah haji Indonesia yang datang setiap tahun, mereka menjadikan usaha mereka lebih ramah pada kehadiran orang Indonesia.

Apalagi ibadah haji bagi sebagian besar masyarakat Indonesia bukan semata menjalankan salah satu ritual keagamaan, yaitu rukun Islam kelima. Berbeda dari empat rukun Islam yang lain, seperti syahadat, sholat, puasa dan zakat dengan berbagai ritual dengan dimensi-dimensi spiritualnya.

Ibadah haji bagi masyarakat Indonesia juga berdimensi sosial dan budaya yang menempatkannya sebagai salah satu peribadatan yang istimewa. Keberangkatan dan kepulangan jamaah haji selalu diliputi berbagai ritual dan berbagai hiruk-pikuknya yang melibatkan sanak keluarga, dan masyarakat luas, hingga seakan menjadi keharusan bagi setiap jamaah haji Indonesia untuk membeli suvenir dan berbagai pernak-pernik sebagai cinderamata bagi keluarga dan masyarakat yang akan menyambutnya saat pulang ke tanah air.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun