Mohon tunggu...
Irfan Tamwifi
Irfan Tamwifi Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar

Pengajar yang terus belajar apa saja

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

4 Alasan Memberi Ucapan Selamat Natal dan Merayakan Tahun Baru

21 Desember 2019   20:52 Diperbarui: 24 Desember 2019   07:04 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Personal Collection

Di media sosial akhir-akhir ini, dan hampir setiap menjelang hari natal dan tahun baru, banyak broadcast artikel, video atau ceramah agama yang berisi larangan dan pengharaman ucapan selamat Natal dan merayakan Tahun Baru. Meski secara "tidak tegas" MUI juga melarangnya, atau lebih tepatnya, menganjurkan umat Islam untuk tidak memberi ucapan selamat natal.

Bagi sebagai penganut Islam, narasi-narasi tersebut dipandang wajib diikuti, padahal tidak. Meski demikian, kita tidak perlu memperdebatkan untuk hal-hal semacam ini, karena tidak ada gunanya, tidak akan pernah selesai dan hanya mempertajam perbedaan.

Yang jelas, memberi ucapan selamat natal dan merayakan tahun baru merupakan hak kita sepenuhnya. Kecuali di daerah tertentu, semisal Aceh, yang memang secara yuridis memiliki hak melarang urusan-urusan semacam ini, tidak ada yang berhak melarang kita melakukannya.

Lalu bagaimana menyikapi broadcast, artikel dan ceramah yang memfatwakan haram? Abaikan saja. Faktanya, lebih banyak orang memilih tidak menanggapi dan mengabaikannya. Di antara pertimbangannya adalah karena kita memiliki alasan sendiri melakukannya, antaranya adalah sebagai berikut.

1.   Bukan Soal Keimanan atau Peribadatan

Ucapan selamat natal, selamat Waisak, atau hari raya untuk umat Hindu dan Konghucu bukanlah ranah keagamaan, baik menyangkut keimanan ataupun peribadatan. Memberi ucapan selamat adalah tradisi modern dan tidak termasuk pokok-pokok ajaran agama. 

Ucapan selamat biasa dilakukan di berbagai momen kebahagiaan dan kesuksesan, semisal hari ulang tahun, momen keberhasilan, serta momen-momen kebudayaan, sosial dan keagamaan. Ucapan selamat mempunyai makna perhatian, apresiasi, penghargaan, serta fairness, yang mana seseorang atau sekelompok orang mengapresiasi keadaan orang atau sekelompok masyarakat yang lain. Ucapan selamat juga menjadi cara manusia untuk menunjukkan kedekatan, persahabatan dan  perdamaian, yang tidak mungkin dilarang oleh agama yang benar.

2.   Menjaga Hubungan Baik

Buat mereka yang dalam kehidupan sehari-hari tidak pernah bersentuhan atau berurusan dengan penganut agama lain, fatwa semacam itu mungkin mudah diikuti. Apalagi bagi mereka yang termakan paham atau pemikiran konservatif atau bahkan yang sukses didoktrin dengan sentimen dan antipati terhadap pemeluk agama lain, fatwa semacam itu akan dengan mudah menjadi wajib.

Lain halnya bagi mereka yang dalam kehidupan sehari-hari berinteraksi dengan penganut agama lain. Memberi ucapan selamat atau bahkan memberikan bingkisan kecil menjadi salah satu cara untuk menjaga hubungan baik. Penganut agama selain Islam juga biasa mengucapkan selamat Idhul Fitri pada umat Islam tanpa dipersoalkan oleh tokoh-tokoh agamanya, kenapa kita harus paranoid? 

Iman dan ibadah adalah urusan hati setiap orang, yang tidak perlu menciptakan jarak sosial. Perbedaan keyakinan tidak perlu menghalangi kita untuk saling bekerja sama apalagi bermusuhan. Sekedar memberi ucapan selamat tidak mungkin dilarang oleh agama yang benar, sebagaimana kita tetap bisa melayani pesanan kue, pakaian, peralatan pesta dan transportasi untuk kegiatan keagamaan agama lain. Menghindari atau bahkan mengharamkan ucapan natal sama artinya memamerkan naifnya etika kita, seolah-olah ajaran agama kita begitu picik dalam memandang masalah remeh-temeh seperti ini.

3.   Bukan Fatwa Yang Mengikat

Fatwa (pengurus) MUI dan pendapat mereka yang biasa dipanggil ustadz/ustadzah tidak bersifat mengikat dan tidak wajib diikuti. Yang mereka nyatakan tidak lebih dari sekedar pendapat sesuai wawasan, pemahaman, persepsi dan kepentingan mereka sendiri. 

Lagi pula, mereka juga bukan kumpulan orang-orang suci yang terbebas dari dosa, salah, lupa, masalah keluarga dan sosial, bukan orang yang bebas dari berbagai kepentingan, serta pendapatnya juga belum tentu benar dan belum tentu pula bijaksana.

Di tengah era kebebasan berfikir dan keterbukaan saat ini, setiap orang berhak memiliki pendapatnya sendiri berdasarkan berbagai referensi yang serba terbuka. Fatwa MUI dan pendapat orang berpredikat apapun mungkin dapat menjadi salah satu di antara berbagai bahan pertimbangan berfikir, tetapi keputusan akhir berada di tangan kita sepenuhnya. 

Bukan jamannya lagi membeo pendapat orang atau kelompok, dan apalagi menempatkannya sebagai satu-satunya rujukan, kecuali nalar kita sudah tidak berfungsi untuk berfikir, menimbang, memilah dan memilih. Kita harus tetap membuka mata pada berbagai perspektif sehingga tidak terjebak pada fanatisme yang membabi-buta yang merepotkan diri sendiri, apalagi orang lain.

Tidak perlu kuatir divonis sesat, munafik, liberal atau bahkan kafir karena ini semua, sebab faktanya, tidak semua ulama mengharamkan ucapan selamat natal. Sebagai misal, kita dapat berkaca pada umat Islam di belahan lain dunia. Grand Syaikh al-Azhar Mesir, misalnya, tidak melarang bahkan mengucapkan selamat natal pada kaun Nasrani di negerinya sana. Umat Islam Palestina juga tidak mempersoalkannya bahkan turut mendukung dan secara turun-temurun ikut serta merayakan natal sebagai hal biasa. Kalau mereka boleh, kenapa kita tidak?

4.   Butuh Liburan

Hari Natal dan tahun baru pada umumnya merupakan hari libur yang cukup panjang dan itu adalah momen tepat untuk menghabiskan waktu bersama keluarga. Berlibur sudah menjadi kebutuhan manusia kontemporer, baik untuk menyegarkan pikiran maupun menjalin kedekatan bersama keluarga, dengan menikmati alam maupun keseruan bersama warga masyarakat di sekitar kita, sesuai budget masing-masing.

Melarang merayakan tahun baru dengan alasan menghindari maksiat mungkin masih masuk akal,  tapi bukan karena "sentimen" agama. Adanya kemaksiatan di tengah perayaan tahun baru dan liburan yang biasa melengkapi dalih pengharaman juga masih dipertanyakan, sebab liburan hari raya keagamaan apapun berpotensi sama.  Hal ini dikarenakan semua hal kembali kepada pribadi masing-masing apalagi di era kontemporer saat ini. 

Bila hidup bisa dijalani dengan cara yang asyik dan mudah, mengapa harus mengikuti yang serba ribet?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun