Mohon tunggu...
Narwan Eska
Narwan Eska Mohon Tunggu... Jurnalis - Pemahat Rupadhatu

Berkelana di belantara sastra, berliterasi tiada henti

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Pak RW dan Warung Nasi Goreng

6 September 2019   07:42 Diperbarui: 7 September 2019   05:36 747
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: astyaep.wordpress.com

Masih menggantung dalam pikirannya, saat Kardi berangkat tidur, masih saja kejadian tadi sore di Balai Kampung itu menonjok-nonjok otaknya. Sidang kampung yang digelar anak-anak muda termasuk dirinya, berakhir dengan keputusan yang mentah. “Ah, gara-gara warung nasi goreng itu. Kampung jadi tidak setenang dulu,” umpat Kardi dalam hati.

Memang, sejak di depan pasar itu dibuka warung nasi goreng, hampir setiap malam pertigaan itu jadi lebih ramai. Namun yang digelisahkan warga kampung, bukanlah karena keramaian yang timbul. Tapi lebih pada dampak dari adanya warung yang buka setiap malam hingga pagi.

Bagi warga kampung itu, buka warung sampai pagi merupakan larangan. Ini sudah menjadi peraturan kampung. Tapi mengapa warung nasi goreng itu masih saja buka, bukankah Pak RT dan Pak RW telah mengingatkannya? Apa mereka tuli atau pura-pura tuli?

“Bagaimana Pak RW, tentang teguran untuk warung itu?” tanya Kardi kepada Pak RW yang usianya masih cukup muda.
“Sudah, sudah dua kali kami tegur. Yah, tapi kita maklum Di, namanya saja orang cari rezeki. Mosok dilarang?”
“Bukannya melarang orang cari rejeki Pak RW. Tapi ini masalah peraturan kampung yang harus kita patuhi. Bukankah Pak RW sendiri turut mengesahkan peraturan itu?”

Kardi sebagai ketua pemuda yang terkenal sangat vokal itu tetap saja mendesak agar pemilik warung itu dilarang tinggal di kampungnya. Alasan Kardi dan warga yang lain sangat kuat untuk mengusir pemilik warung itu. Pertama, pemilik warung yang mengaku suami istri itu tidak bisa menujukkan KTP dan surat nikah kepada Pak RT setempat. 

Kedua, pemilik warung itu bukan hanya dua orang, namun beserta seorang anak dan seorang gadis yang menurut pengakuan mereka merupakan adik sang istri. Alasan yang ketiga, ini yang membuat warga gerah, yaitu pemilik warung dan adik perempuannya sama-sama nyambi menjual "yang lain".

***

Sungguh, warga kampung ingin warung nasi goreng itu dibongkar saja, bila bersikeras tak mau pergi meski diusir. Kardi melihat Pak RW bertindak setengah-setengah, bahkan terkesan kurang tegas. Pak RW tidak seperti biasanya yang selalu berada di depan dalam pemberantasan kemaksiatan. Entah itu masalah miras, judi, atau masalah pergaulan remaja yang kelewat batas di kampungnya. Tapi kali ini terlihat tak bergairah.

Kardi mengajak ketua RT di kampungnya juga beberapa pemuda dan tokoh masyarakat mendesak Pak RW untuk memberi ketegasan kepada pemilik warung nasi goreng itu. Setiap malam banyak warga asing yang datang ke warung itu, dari larut malam hingga pagi.

Ada yang mabuk, ada yang tiduran, ada yang ngobrol di teras, ada yang cekikikan di dalam, ada yang asyik meramal togel. Ada pula yang datang dengan kata-kata kotor mengumpat diri sendiri karena tidak nembus angka yang dibelinya. Suasana warung di depan pasar itu benar-benar membuat warga terganggu. Ketenangan kampung kini terusik oleh operasi warung nasi goreng.

***

Suatu malam Kardi melihat Pak RW sedang bercakap-cakap dengan pemilik warung. Hati Kardi sebagai ketua pemuda merasa sedikit lega. Berarti Pak RW memperhatikan apa yang diinginkan warganya. Di warung itu Pak RW cukup lama. Tapi anehnya warung sepi pengunjung. 

Rupanya yang biasa datang tahu kalau Pak RW ini cukup disegani. Meski masih muda namun cukup berpengaruh di kampungnya. Beliau paling tidak senang dengan kemaksiatan yang menginjak-injak kampungnya.

Pernah dulu, seorang pengojek dilabraknya karena mabuk miras dan ngomel-ngomel di pertigaan. Pernah juga mengusir warga luar yang apel di rumah kost seorang karyawati pabrik hingga larut malam. Namun itu semua berkat bantuan para pemuda seperti Kardi.

Tatkala Pak RW keluar dari warung, Kardi menemuinya beserta rekan-rekannya yang sejak tadi duduk-duduk di pertigaan sambil mengamati warung nasi goreng itu.

“Sudah beres. Semua yang diinginkan warga sudah saya sampaikan kepada semua penghuni warung itu. Kita tinggal menunggu perkembangan selanjutnya,” kata Pak RW ketika Kardi menanyakan hasil perbincangan tadi.

“Apa benar, adik perempuan pemilik warung itu juga seorang anak nakal?”

“Ah, itu tidak benar. Yang sering membawa pergi itu pacarnya. Kan lebih baik to, dari pada pacaran di warung? Di luar sana malah tak membuat maksiat di sini?”

“Tapi Pak, yang membawa itu selalu berganti-ganti. Kami yang biasa di pertigaan tiap malam ini selalu mengawasi. Hampir tiap malam selalu ada saja yang membawanya.”

“Biar sajalah. Yang penting tidak berbuat maksiat di kampung kita.”

“Ya benar. Tapi kan orang jadi menilai jelek pada kampung kita. Kampung ini disangka sebagai penyedia 'ayam kampung'. Nah, jadi jelek kan Pak?”

“Ya, kita tunggu saja nanti. Pokoknya apa yang diinginkan warga saya telah menyampaikan kepada pemilik warung itu. Dia berjanji hanya akan buka dari sore hingga pukul sebelas malam sesuai peraturan kampung.”

***

Warung nasi goreng itu setelah dua minggu tutup pukul sebelas malam, kini rupanya kambuh lagi. Setiap malam justru malah bertambah banyak pengunjungnya. Tidak hanya nasi goreng yang tersedia. Tapi minuman keras kadang tersedia.

Memang di warung itu tidak menjualnya. Namun pemilik warung selalu membelikan di lain tempat bila ada yang membutuhkannya. Bahkan kini dengan terang-terangan gadis di warung itu berani bercandaria dengan para pengunjung warung hingga pagi.

Kardi dan para pemuda mulai gelisah lagi. Teguran Pak RW rupanya disepelekan oleh penghuni warung itu. Kardi berencana menghimpun warga untuk mengusir pemilik warung dari kampungnya. Namun Pak RW mencegahnya. Pak RW mengatakan tidak perlu sekasar itu, nanti disangka bertindak main hakim sendiri.

“Tapi orang itu sudah keterlaluan Pak. Mereka tak menghormati peraturan kampung, adat kampung yang dipegang teguh oleh warga. Tentunya Bapak juga tidak rela bila kampung kita sebagai sarang pemabuk, penjudi, bahkan wanita nakal,” kata Kardi dengan nada agak tinggi.

“Baiklah, nanti saya yang akan ke sana lagi. Biar saya sendiri yang bicara. Kalian cukup menunggu hasilnya saja.”

Kardi dan beberapa pemuda meninggalkan rumah Pak RW dengan menggerutu. Mereka beranggapan Pak RW tak tegas. Tidak seperti dulu waktu awal-awal beliau menjabat sebagai Ketua RW.

***

Kardi saat akan berangkat kerja, sempat menanyakan keadaan warung nasi goreng tadi malam kepada Harjo temannya. Dari rumah Harjo biasanya para pemuda memantau warung nasi goreng.

“Masih ramai. Namun cewek itu sejak kemarin sore sudah pergi. Mungkin ada yang buking,” kata Harjo yang masih bermalasan di kursi bambunya.

“Pak RW ke sana tidak?”

“Tidak terlihat, Di. Kelihatannya tidak di rumah kok. Mungkin tidak pulang. Istrinya bilang baru tugas di luar kota.”

Kardi hanya manggut-manggut mendengarnya sambil mengembangkan senyum sinisnya. Segera ia berangkat kerja. Kardi yang disegani pemuda di kampungnya itu bekerja di sebuah hotel yang cukup terkenal di kota. Sejak lulus sekolah perhotelan, kini dia menduduki jabatan penting di tempat kerjanya. Meskipun begitu, dia tidak pernah sombong. Dia tetap bersahaja.

***

Sampai di tempat kerja langsung Kardi menuju tempat parkir di dalam komplek hotel. Segera ia memarkir motornya, dan lansung menuju lobi hotel untuk absen. Tiba-tiba mata Kardi melihat sebuah mobil yang tidak asing lagi baginya. Mobil itu bukan pelanggan hotel, bukan pula milik tamu dari luar kota meskipun berplat nomor kota lain, tapi mobil itu tiap hari dia lihat di kampungnya.

Benar-benar Kardi penasaran pada pemilik mobil itu. Kardi merasa ada sesuatu yang aneh, benar-benar ganjil dan tak disangka-sangkanya mobil itu parkir di tempatnya bekerja.

Segera Kardi menemui resepsionis hotel dan melihat buku tamu. Jari telunjuknya mengurutkan nama-nama di buku tamu. Aneh, nama pemilik mobil yang ia kenal betul itu tidak tertulis di situ.

“Mbak, pemilik van hijau itu di kamar berapa?” tanya Kardi kepada resepsionis.
“Oh, itu di kamar lima belas, Pak. Ada apa Pak?”
“Tolong hubungi dia. Suruh dia menemui saya di ruang saya.”
“Baik, Pak!”

Kardi sengaja duduk membelakangi pintu ruang kerjanya. Dia pura-pura asyik memencet-mencet keyboard komputernya, ketika pintu diketuk dari luar.

“Masuk!”
“Ini Pak, tamu yang di kamar lima belas,” kata resepsionis.
“Ya, terimakasih. Tunggu sebentar, silakan duduk dulu!”

Demikian jawaban Kardi dengan sengaja masih membelakangi tamunya. Kardi pun tahu yang masuk adalah seorang laki-laki diantar sang resepsionis. setelah keduanya duduk, Kardi pun bertanya.

“Kapan Bapak datang?”
“Kemarin sore, Pak?”
“Dengan istri Bapak?”
“Betul, Pak!”
“Pantas saja tidak terlihat di rumah sejak kemarin sore. Istri Bapak memang mengatakan Bapak sedang dinas luar. Sehingga semalam Bapak tidak terlihat di warung nasi goreng, juga gadis itu,” kata Kardi sembari mematikan komputernya.

“Bapak kok tahu?”

Kardi memutar kursinya.

“Bukankah saya ini juga warga di kampung Bapak, Pak RW?”

Tamu itu terperanjat. Bibirnya hanya menganga tak mengeluarkan kata-kata. Mukanya berubah jadi pasi dan tiba-tiba pingsan di kursi ruang kerja Kardi. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun