Mohon tunggu...
Narwan Eska
Narwan Eska Mohon Tunggu... Jurnalis - Pemahat Rupadhatu

Berkelana di belantara sastra, berliterasi tiada henti

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Keris Luk Pitu

23 Agustus 2019   17:28 Diperbarui: 23 Agustus 2019   17:31 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sudah seminggu ini setiap pagi aku lihat Kang Karep pergi dengan pakaian agak rapi dibanding biasanya. Tas kumal warna hitam selalu didekap dengan tangan kirinya seperti takut akan lepas dari talinya. Baju batik cokelat bermotif sulur selalu dipakai. Begitu setiap hari melintas depan rumahku.

"Ada perlu!"

Begitu singkat jawaban Kang Karep saat kutanya ke mana pagi-pagi sudah rapi pergi mendekap tas kumal. Jawaban yang sama seminggu ini. Hanya kulihat pergi namun tak pernah tahu kapan dia pulangnya. Sepertinya malam atau mungkin larut malam baru pulang.

***

Kang Karep tak lagi bermandi keringat di ladangnya. Ladang yang kini berlubang-lubang menganga di sana sini. Ladang tak bertanaman, hanya beberapa batang mahoni tumbuh di beberapa tempat dikitari lubang besar. 

Ya, lahan yang digali untuk dijadikan batu bata. Beberapa gubuk berdiri di sudut. Berukuran cukup besar terbuat dari bambu petung. Beratapkan plastik bening. Tampak robek di beberapa bagian. Robekan plastik melambai bila tertuip angin. Di lantai itu biasanya Kang Karep mencetak batu-bata.

Aku menjadi penasaran setelah mendengar beberapa tetangga bercerita tentang Kang Karep. Laki-laki pembuat batu bata itu sekarang sedang menjadi buah bibir di kampung kami. Kang Karep seperti berita heboh yang ditayangkan oleh beberapa stasiun televsi secara serempak dan berlangsung lama. Seakan tidak ada selesainya.

Di warung, di pasar, di pancuran tempat warga mandi, di sawah, bahkan tiap malam di pos ronda selalu terdengar obrolan tentang Kang Karep. Mungkin hanya aku yang paling akhir tahu meskipun setiap pagi akulah yang melihat pertama kali dia melintas depan rumah. Berbatik cokelat dan mendekap tas kumal.

***

"Bila keris itu benar-benar berisi pasti harganya ratusan juta, Kang Karep akan jadi kaya raya mendadak."

Keris? Kang Karep punya keris berharga ratusan juta? Aku heran. Dia temanku sejak kecil, rumah kami berdampingan, namun aku belum pernah mendengar dia punya sesuatu yang berharga. Aku paham betul. Namun orang-orang di pos ronda itu bercerita tentang Kang Karep dan kerisnya.

"Apalagi keris luk pitu Kang. Itu keris yang jarang. Bahkan bisa juga keris yang ampuh."

Obrolan tentang keris luk pitu membuatku melangkahkan kaki mendekati pos ronda. Aku pun menjadi tahu mengapa Kang Karep menjadi buah bibir. Mengapa Kang Karep setiap pagi pergi dengan pakaian rapi dan mendekap tas kumalnya.

***

Suatu siang saat menggali tanah liat di tempat biasanya, tiba-tiba mata cangkulnya mengenai sesuatu. Sebuah kotak ukir kuno yang mulai rapuh. Kotak itu tepotong mata cangkul pada salah satu sudutnya. Kemudian digalinya hati-hati dengan ujung linggis hingga bisa diambil dan dibawanya ke gubuk plastik.

Dengan hati-hati dibukanya kotak itu. Hatinya berdebar. Pikirannya membayang sebuah benda berharga semacam harta karun. Sekotak perhiasan emas atau bahkan intan berlian. Bayangan menjadi orang terkaya di kampung menggoda pikirannya untuk berkhayal.

Sebuah benda berbungkus beludru merapuh dan warna merah pudar basah dikeluarkan dari kotak. Dibukanya dengan penuh hati-hati. Logam warna kuning mulai terlihat dari lilitan beludru basah itu. Sempurna. Sebuah benda yang berbeda dengan angannya. Sebuah keris bergelombang tujuh atau luk pitu berwarna gelap, namun sedikit berkarat di bagian pangkalnya. Tangkainya masih utuh lengkap dengan selut dari kuningan. Sementara warangka dengan pendok kuningan berukir.

Melihat kotak ukir dan cara membungkus keris itu, Kang Karep menduga sebuah keris yang memiliki kekuatan magis tertentu. Namun dia tak berani menebak kekuatan macam apa. Kesaktiankah? Atau yang memiliki benda itu bisa kaya raya, berwibawa, atau mungkin bisa menolong orang sakit. Kang Karep tetap tak bisa menebak.

Dia tak paham sama sekali tentang seluk-beluk keris. Maka dia bergegas membawa pulang keris luk pitu ke rumah kayunya. Kang Karep berniat menanyakan ke orang yang paham tentang keris atau kolektor keris. Pokoknya dia ingin tahu kekuatan yang dimiliki benda antik temuannya. Begitu cerita yang kudengar dari obrolan di pos ronda.

***

Pagi ini Kang Karep belum tampak melintas. Hingga aku melakukan kebiasaan membawa ayahku ke halaman dengan kursi rodanya. Berjemur matahari pagi. Ayahku yang seusia almarhum ayah Kang Karep.

"Kok siang Kang?"

Agak berteriak kusapa Kang Karep yang tiba-tiba melintas. Seperti biasa, berjalan agak cepat sambil mendekap tas kumal warna hitam. Tapi kali ini batiknya berwarna merah dengan motif burung cenderawasih.

"Iya Mas Bagus. Selamat pagi Pakde Karto?"

Kang Karep membalas dan menyapa ayahku yang sedang menikmati hangatnya sinar matahari pagi. Ayahku melambai sambil memanggil Kang Karep. Dengan tergopoh-gopoh Kang Karep mendekat menghampiri kami.

"Apa yang kamu bawa Rep?"

"Ini keris Pakde. Saya menemukan ini saat menggali tanah."

"Mau kamu bawa ke mana? Coba kulihat."

Kang Karep mengeluarkan bungkusan kain putih dari tas kumalnya. Dibukanya bungkusan itu dan sebuah keris berwarangka kuning mengkilap diserahkan ke ayahku.

"Hmmm...."

Ayahku bergumam sambil manggut-manggut saat mencabut bilah keris dari warangkanya. Dicermati betul keris luk pitu itu. Masih manggut-manggut. Terus menggeleng-gelengkan kepala. Aku tak tahu maksud anggukan dan gelengan kepala ayahku. Kang karep pun turut memandanginya.

"Pakde paham tentang keris? Keris ini punya keampuhan apa nggih Pakde? Saya sudah bertanya ke beberapa orang seminggu ini tak dapat jawaban pasti. Apalagi membelinya, menjawab saja hanya dengan gelengan kepala."

Kang Karep antusias bertanya ke ayahku tentang kerisnya. Sementara ayah dengan senyum tipis menyerahkan keris itu kembali. Ayah masih menggeleng-gelengkan kepala sambil terkekeh. Kemudian menyerahkan kembali keris itu kepada Kang Karep.

***

"Bagaimana Pakde?"

"Kalau kesaktiannya aku tak tahu. Tapi sejarah keris itu aku tahu Rep?"

"Maksud Pakde?"

Kang Karep penasaran. Aku pun tak tahu maksud kalimat yang diucapkan ayahku.

"Dulu.... Kakekmu itu juru rias pengantin. Punya banyak keris seperti itu. Bagus-bagus memang. Namun hanya keris hiasan untuk upacara pengantin adat Jawa. Artinya keris kopong tanpa isi."

"Tapi mengapa harus dibungkus beludru dan disimpan dalam kotak ukir Pakde?"

"Hahahaha... "

"Kok palah nggujeng Pakde?"

"Itu ulahku Rep. Jadi Pakdemu ini dulu diminta oleh kakekmu untuk ikut mengubur semua miliknya. Saat Jepang menjajah kita. Jepang mengharuskan menyetorkan besi tua. benda-benda atau peralatan dari besi yang dimiliki orang pribumi."

Kang Karep dan aku terpaku mendengar cerita ayah. Baru kali ini ayah banyak cerita tentang masa mudanya. Ayah melanjutkan cerita.

"Kemudian kakekmu memintaku membantu mengubur semua keris miliknya. Berharap suatu saat dapat diambil kembali."

"Lalu keris ini?"

"Aku ambil salah satu keris dan kubungkus rapi dengan beludru merah. Rapi layaknya membungkus keris sakti. Kumasukkan ke kotak jati berukir. Lalu kutanam di kebun kakekmu."

"Jadi keris ini?"

Kang Karep duduk di tanah. Lemas. Keris luk pitu diletakkan di antara dua kakinya. Dipandangi keris sambil menggeleng-gelengkan kepala. Seolah membuang khayalan menjadi orang kaya yang menyelimuti pikirannya sejak menemukan keris luk pitu. Aku dan ayahku pun ikut menggelengkan kepala. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun