Ada buku yang sekadar dibaca lalu dilupakan, ada juga yang entah bagaimana, tertanam begitu dalam hingga bertahun-tahun kemudian masih terasa relevan. Rindu karya Tere Liye adalah salah satunya.
Saat pertama kali membacanya, kesan yang tertinggal sederhana. Menarik, tentu. Sarat makna, jelas. Tapi, waktu itu masih di bangku Aliyah, masih sibuk mikirin ujian, masih terlalu polos untuk benar-benar memahami kedalaman kata-kata Gurutta.
Sekarang, bertahun-tahun kemudian, dan lembaran itu kembali dibuka. Bedanya? Kali ini, setiap kata seperti mengetuk-ngetuk kepala, seperti tamparan halus yang tidak menyakitkan, tapi cukup untuk membuat terdiam dan berpikir ulang.
Satu bagian yang benar-benar menancap dalam pikiran adalah ketika Gurutta mengibaratkan hidup bagaikan kapal:
"Perjalanan kita mungkin masih jauh sekali. Tentu saja bukan perjalanan kapal ini yang kumaksud. Meski memang perjalanan ke Pelabuhan Jeddah masih berminggu-minggu. Melainkan perjalanan hidup kita. Kau masih muda. Perjalanan hidupmu boleh jadi jauh sekali, Nak. Hari demi hari, hanyalah pemberhentian kecil. Bulan demi bulan, itu pun sekadar pelabuhan sedang. Pun tahun demi tahun, mungkin itu bisa kita sebut dermaga transit besar. Tapi itu semua sifatnya adalah pemberhentian semua. Dengan segera kapal kita berangkat kembali, menuju tujuan paling hakiki."Â (Rindu, hal. 272)
Hidup, jika dipikirkan baik-baik, memang seperti perjalanan laut. Ada saatnya tenang, ada saatnya dihantam badai. Kadang kita menikmati perjalanannya, tapi di waktu lain kita justru ingin menyerah, membiarkan diri hanyut tanpa arah.
Lalu datang bagian paling menohok:
"Maka jangan pernah merusak diri sendiri. Kita boleh benci atas kehidupan ini. Boleh kecewa. Boleh marah. Tapi ingatlah nasihat lama, tidak pernah ada pelaut yang merusak kapalnya sendiri. Akan dia rawat kapalnya, hingga dia bisa tiba di pelabuhan terakhir. Maka, jangan rusak kapal kehidupan milik kita, hingga dia tiba di pelabuhan terakhirnya."Â (Rindu, hal. 272)
Jleb...
Sering kali kita merasa hidup ini begitu berat, hingga terbersit keinginan untuk berhenti sejenak. Mungkin setelah segala yang kita perjuangkan tidak membuahkan hasil. Mungkin setelah kepercayaan yang kita berikan dihancurkan oleh orang yang kita anggap dekat. Atau mungkin setelah dunia terasa terlalu keras, terlalu membingungkan.
Keinginan untuk menyerah datang begitu saja, ingin semuanya berhenti, ingin melepaskan segala yang sudah kita ikat begitu erat.