ARISTOTELES Â menempatkan manusia itu adalah hewan yang berakal-sehat, yang mengeluarkan pendapatnya, yang berbicara berdasarkan akal pikirannya (the animal that reasons).
IBNU KHALDUN  menulis dalam karya-utamanya muqaddimah sebagai berikut: kemudian ketahuilah, bahwa Allah membedakan manusia dari lain-lain hewan dengan kesanggupan berfikir, sumber dari segala kesempurnaan, dan puncak dari segala kemuliaan  dan ketinggian  diatas lain-lain makhluk.
Dari berbagai pendapat yang telah dikemukakan para pemikir di berbagai waktu dan tempat, tampaklah jelas, bahwa: keistimewaan manusia terlihat jelas dalam kenyataan kemampuannya berfikir. Dalam Ilmu Mantiq (= logika) kita temukan sebuah rumusan tentang manusia yang juga sekaligus membedakannya dari hewan, yaitu: Al-Insanu Hayawanun Nathiqun, yang artinya: insan itu adalah hewan (bukan khewan ataupun chewan!) yang nathiq, yang berkata-kata dan mengeluarkan pendapat dengan berdasarkan pikirannya; tegasnya: manusia itu adalah hewan yang berpikir.
Dalam buku karangan Endang Saifuddin Anshari juga menjelaskan "pentingnya pertanyaan-pertanyaan asasi dalam kehidupan praktis". Orang dapat saja meragukan bahwa pertanyaan-pertanyaan asasi ini dan mengangapnya  tidak sepenting yang dikatakan. Sesungguhnya, sivilisasi secular modern adalah, untuk semua tujuan-tujuan praktis, didasarkan atas faham, bahwa pertanyaan-pertanyaan asasi/terakhir ini tidak ada hubungan dengan problem praktis umat manusia dan bahwa perhatian kea rah masalah-masalah itu hanyak masuk akal bila semata-semata bersifat akademis, dan tidak selainnya.
Dengan kata-kata lain, pertanyaan ini harus berarti bagi para filsuf, dan tiada seorang pun pribadi yang praktis yang mau mebuang-buang waktu dan energy untuk hal-hal seperti itu. Namun apabila kita menyalami persoalan itu lebih mendalam, tidak dapat tidak kita sampai kepada kesimpulan berdasakan kesadaran (commonsense) sendiri, bahwa: pertanyaan-pertanyaan asasi itu sungguh lebih penting daripada pertanyaan-pertanyaan biasa.
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang begitu banyak muncul dipikiran kita. Kita pun terlebih dahuluharus  mengetahui metode ilmu pengetahuan. Yang menjadi tujuan ilmu pengetahuan  tidaklah lain ialah(tercapainya) kebenaran. Untuk mencapai tujuan, yaitu kebenaran, maka ditempuhlah cara dan jalan tertentu, yang dikenal dengan metode ilmu pengetahuan atau metode ilmiah.
"Cara atau jalan yang dilalui oleh proses ilmu sehingga mencapai kebenaran adalah bermacam, tergantung kepada sifat ilmu itu sendiri, ilmu pengetahuan alamkah atau ilmu sosial". Pendapat beberapa ahhli mengenai hal tersebut:
FRANCIS BACON mengemukakan empat sendi kerja untuk menyusun ilmu pengetahuan yaitu:
- Observsi (pengamatan)
- Measuring (pengukuran)
- Explaning (penjelasan) dan
- Verifying (pemeriksaan benar tidaknya) Â Â
Menurut Ir DJUMA'IN BASALIM dalam artikelnya "Orientasi terhadap Science" ialah sebagai berikut:
- Mengajukan pertanyaan terhadap alam
- Menngumpulkan bukti-bukti yang tepat
- Membuat keterangan secara hipotesa
- Mengumpulkan pengertian
Tapi itu semua tidak menjamin bahwa semua pertanyaan yang singgah dan hinggap di daerah kesadaran manusia itu tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan dan bahwa masalah-masalah yang tak terjawab itu diserahkan kepada instansi atau insititut yang diharap dan dianggap menjawabnya, yaitu: filsafat. Nah sekarang muncul lagi pertanyaan dibenak kita, apakah yang dimaksud dengan filsafat itu?. Untuk itu penulis pilihkan rumusan beberapa  ahli dari sekian banyak ahli mengenai kandungan makna filsafat itu, tapi disini kita akan mencatat sebagian dari mereka diantaranya:
PLATO mengatakan bahwa: filsafat itu tidaklah lain daripada pengetahuan tentang segala yang ada.