Mohon tunggu...
Ninuk Setya Utami
Ninuk Setya Utami Mohon Tunggu... lainnya -

Beberapa bulan ini nyari uang segede koran di salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Barat. Pengennya, bisa segera kembali ke Kepulauan Riau, atau bersua bersama saudara-saudaraku suku-suku termajinalkan di Indonesia. Berbagi kasih, berbagi keceriaan....

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Listrikku Turun Harga

5 Maret 2018   12:30 Diperbarui: 5 Maret 2018   12:42 496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kamu serius mengajak Dek Ninuk hidup di hutan, Dan?" tanya salah satu kakak iparku dalam bahasa Sunda. Dani suamiku sudah bulat tekad. Aku yang mendengar hanya senyum-senyum saja.

"Ninuk teh biasa hirup di leuweng(hutan)," ujar Dani datar. Ah, kan bukan hutan! Hanya kebun kopi pun.

"Nanti kalian kerja apa?"

Dani sejak awal memberitahuku, "Kita nanti produksi Kopi Luwak Lembah Masurai. Sekalian mengkampanyekan musang liar supaya tidak dibunuhi karena dianggap tidak berguna."

Akhir Mei 2014, aku dan Dani sebetulnya sudah berangkat ke Jambi. Keperluan hidup baru, belanja peralatan dapur sampai beli kasur kami lakukan di Kota Jambi dan Bangko yang ibukotanya Merangin. Awal Juni, kami benar-benar hidup di kebun kopi yang masuk wilayah Dusun Sungai Tebal (STB), Desa Tuo, Kecamatan Lembah Masurai, Kabupaten Merangin, Propinsi Jambi. Dari Kota Jambi ke pondokku sekarang ini, butuh sekurangnya 10 jam bermobil dan 45 menit jalan kaki.

Boros hmmm...

Menjadi orang yang tinggal khususnya di Jawa atau di kota-kota, soal lampu sudah tidak lagi jadi persoalan. Rumah baru sekalipun, tinggal 'ngebel' PLN, bayar, lampu byar, listrik mengalir lancar sentosa. Paling-paling mengumpat pemerintah tak becus ngurusi listrik saat listrik tiba-tiba padam. Atau marah-marah saat subsidi listrik dicabut, bayar listrik jadi membengkak. Tidak, dengan di sini...

Bulan-bulan awal, Dani atau aku rajin mengisi tangki minyak lampu badai yang dulu kami beli di Jambi. Tiap malam menjelang tidur, sumbunya diturunkan supaya minyak jauh lebih irit. Irit?

Tetangga kami, keluarga muda Bobi dan Debi yang punya anak Bintara, juga keluarga Mak Ridit Pak Ridit pernah bertanya, "Dimana kamu beli lampu begini?" Lampu badai maksud mereka. Sebab selama ini, mereka hanya menggunakan bekas botol minuman penambah stamina. Sumbu dibikin sendiri dari kain tak terpakai.

Setiap bulan, dengan menyalakan lampu dari petang sampai pagi, butuh sedikitnya empat (4) liter minyak tanah. Harga per liternya Rp. 10.000, dari awal aku tinggal di sini sampai harga kini. Boros! Apa boleh buat? Aku tidak bisa tidur dalam gelap gulita. Asal remang-remang, jadi lah.

Numpang

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun