Mohon tunggu...
Radian A
Radian A Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Belajar jadi manusia

Karena "bio harus diisi" maka ingin ku ceritakan tentangku kepadamu, namun nanti ... saat kita bersua di dalam kedai, bertemankan bergelas-gelas kopi. Akan ku isi bio-ku di hatimu, tanpa terkecuali, jujur dan apa-adanya. :p

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Akibat Hilangnya "Home" di Dalam "House" bagi Perkembangan Diri Seorang Anak Setelah Dewasa

8 Maret 2020   10:27 Diperbarui: 8 Maret 2020   10:27 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : pixabay.com

Tentu apa yang terjadi kepada sahabat saya ini seharusnya dapat dihindari jika semenjak dini lingkungan keluarga dapat menjadi tempat kembali (home) yang nyaman bagi penghuninya.

Orang tua sebagai pemegang kunci kehangatan keluarga
Saya bersyukur dibesarkan di dalam keluarga yang hangat dan nyaman, bahkan sampai saat ini, saya masih ingat pada yang dilakukan bapak saya di dalam keluarga untuk membuat nyaman anak-anaknya. Diantaranya :

Pertama, Bapak saya --- selaku kepala keluarga, melarang anak-anaknya pergi bermain keluar rumah setelah maghrib, kami selalu sholat maghrib berjamaah, lalu satu persatu anaknya diminta mengaji dan beliau selalu menyimak disampingnya (tidak sekedar menyuruh mengaji lalu pergi meninggalkan anak-anaknya yang sedang mengaji).

Kedua, seusai mengaji, kami selalu makan malam bersama makanan yang di masak oleh ibu saya. Bapak saya lebih suka meminta ibu saya memasak daripada membeli makan diluar. "Agar lebih ada keterikatan anak dengan rumah," katanya. "Tidak dibiasakan serba jajan."

Ketiga, seusai makan, sholat isya, lalu anak-anaknya diminta belajar bersama di ruang keluarga. Saat itu, bapak pasti akan menanyakan PR dan kejadian-kejadian yang anak-anaknya alami selama seharian baik di sekolah maupun dilingkungan. Lalu menanggapinya dengan antusias ketika kami bercerita. Hingga tak terasa waktu telah malam, dan kami beranjak tidur.

Keempat, bapak selalu ringan tangan menyapu maupun mencuci pakaian ketika melihat ibu kerepotan melakukan hal lainnya.

Kelima, bapak saya selalu ada buat anak-anaknya. Sering tanpa pesan, tiba-tiba sudah di depan gerbang sekolah untuk menjemput. Bahkan kadang mengantarkan anaknya pergi bermain ke rumah temannya. (Dan itu baru saya sadari setelah dewasa, sepertinya itu cara beliau memata-matai pergaulan anaknya tanpa perlu melarang atau berfikiran negatif).

Keenam, tidak pernah marah lalu menyalahkan namun menanggapi dengan memberikan pilihan solusi ketika anaknya sadar telah melakukan kesalahan.

Ketujuh, hampir setiap akhir pekan, daripada melarang anak-anaknya pergi bermain, beliau lebih suka tiba-tiba membuat kegiatan yang melibatkan semua anggota keluarga. Saya selalu ingat, ketika Minggu pagi, entah dari mana membawa ikan besar-besar dan meminta kami membantu membuat perapian untuk membakarnya bersama-sama.

Dan hal-hal lainnya yang mendekatkan diri kami selaku anak-anak dengan orang tua, seperti mengiming-imingi hadiah yang kami inginkan jika mendapatkan ranking diakhir semester. Alih-alih memberikan uang jajan, justru membelikan ayam atau burung merpati yang harus anak-anaknya beri makan sendiri untuk mendapatkan uang jajan tambahan ketika sudah beranak-pinak. Anak-anaknya juga tidak selalu harus memanggilnya "bapak" kadang bos, babe, atau komandan, namun itu tidak membuatnya marah.

Dan meskipun beliau talah meninggalkan dunia ini 17 tahun lalu rupanya kehangatan keluarga yang pernah beliau taburkan masih terasa hingga saat ini bagi ibu, saya dan adik-adik saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun