Mohon tunggu...
Nara Ahirullah
Nara Ahirullah Mohon Tunggu... Konsultan - @ Surabaya - Jawa Timur

Jurnalis | Pengelola Sampah | Ketua Yayasan Kelola Sampah Indonesia (YAKSINDO) | Tenaga Ahli Sekolah Sampah Nusantara (SSN) | Konsultan, Edukator dan Pendamping Program Pengelolaan Sampah Kawasan. Email: nurrahmadahirullah@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Hilangnya Spirit Pengelolaan Sampah di Indonesia

10 Januari 2022   07:18 Diperbarui: 10 Januari 2022   15:32 869
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Membakar sampah masih jadi pilihan membereskan sampah di desa dan kota. (Dokumentasi pribadi)

Jika diperhatikan masalah sampah di Indonesia bukan hanya disebabkan sistem persampahan yang tidak tertata dengan baik. Tapi juga karena hilangnya spirit dan nilai-nilai inti dalam pengelolaan sampah di Indonesia. Upaya-upaya pengelolaan sampah di Indonesia saat ini bukan murni bertujuan untuk menyelesaikan persoalan sampah.

Hilangnya spirit untuk mengubah pengelolaan sampah di Indonesia ini justru membuat persoalan sampah makin pelik. Banyaknya acara, program, kegiatan, kampanye dan pernak-pernik pengelolaan sampah di Indonesia bukan menyelesaikan masalah. Justru makin menambah masalah persampahan. Karena spiritnya bukan menyelesaikan persoalan sampah, tapi lainnya.

Tujuan orang-orang mengelola sampah saat ini adalah untuk mencari popularitas, pencitraan, dan mencari keuntungan belaka. Maka tak heran, persoalan sampah yang sebenarnya tak beres-beres. Yang beres hanya publikasi program dan kegiatan serta serapan anggaran pendanaan.

Kesimpulan ini bukan tanpa alasan dan pengamatan. Sejak Undang Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (UUPS) hingga saat ini, sudah puluhan program pengelolaan sampah dicanangkan. Tapi 13 tahun kemudian (saat ini), masalah sampah relatif sama dengan saat UUPS belum ada.

Sebagai contoh, tentang kewajiban daerah-daerah menutup TPA Open Dumping. Dalam UUPS disebutkan, paling lambat 5 tahun setelah terbitnya UU tersebut, semua TPA harus sudah dioperasikan secara control landfill atau sanitary landfill. Kenyataannya, hingga 2018 baru ada 188 kabupaten/kota dari 355 kabupaten kota yang mengoperasikan TPA-nya tidak secara open dumping. Data ini berdasarkan pantauan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) seperti dimuat dalam Statistik Lingkungan Hidup Indonesia (SLHI) 2018 oleh Badan Pusat Statistik (BPS).

Itupun yang datanya disebutkan sudah tidak mengoperasikan TPA secara open dumping belum tentu dioperasikan secara control landfill atau sanitary landfill. Lalu dioperasikan secara apa? Rata-rata tetap open dumping, tapi karena diduga sudah menyerap anggaran membangun TPA control landfill atau sanitary landfill, maka dilaporkan sudah beroperasi tidak secara open dumping. Ini soal permainan kata saja.

Kondisi TPA patut langsung bisa dijadikan contoh tentang betapa tidak bernilainya upaya pengelolaan sampah Indonesia karena TPA adalah hilir sampah. Sepanjang sampah masih tersentralisasi menuju TPA, berarti pengelolaan sampah selama ini muspro alias sia-sia. Bukan hanya sia-sia dalam kata-kata, tapi dalam kenyataannya.

Masih tersentralisasinya mayoritas pembuangan sampah menuju TPA juga merupakan bukti sia-sianya berbagai program, kegiatan, dan kampanye-kampanye pengelolaan sampah. Baik yang dilakukan oleh pemerintah, aktivis, praktisi persampahan, akademisi persampahan, perusahaan-perusahaan yang sisa produknya jadi sampah, pengusaha-pengusaha sampah, dan asosiasi-asosiasi pengusaha sampah maupun daur ulang.

Pada titik ini mestinya semua pihak mulai mengoreksi diri. Apakah selama ini upaya mereka semua dalam mengelola sampah sudah benar, sudah sesuaikah dengan regulasi yang berlaku, dan apakah sudah menyentuh persoalan sampah yang sesungguhnya?

Jangan-jangan apa yang dilakukan selama ini hanya untuk kepentingan dan keuntungan sendiri, kelompok dan golongannya saja. Kepentingan atau keuntungan seperti apa? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun