Karena Saya Takut Tidak Bisa Berhenti
Saya tidak berhenti jadi jurnalis karena saya akan tetap menulis untuk dibaca siapapun dan dimuat media apapun. Saya hanya berhenti bekerja sebagai wartawan sebagai sebuah profesi yang ada di bawah bisnis media. Kenapa?
SEJAK 27 Desember 2007 sampai 6 Mei 2011 genap 1221 hari saya bekerja di anak perusahaan sebuah media besar nasional. Di Madura, media itu begitu besarnya sampai-sampai apapun yang termuat di dalamnya selalu jadi perhatian. Jika ada yang salah dengan pemberitaan di dalamnya maka komplain yang datang luar bisa. Jika ada seseorang merasa tersudut, telpon saya sudah berdering pagi-pagi sekali.
Sebelum saya bekerja sebagai wartawan, saya hanya sarjana ekonomi (SE) biasa yang kesulitan mencari pekerjaan. Tapi sejak kuliah saya memang suka menulis kritik bahkan bernada protes lewat pamflet yang ditempel liar di seantero kampus. Saya enjoy mendengarkan orang lain membicarakan tulisan saya yang saya sebar tanpa tanggung jawab (karena tidak menyebutkan nama dalam pamflet). Di akhir masa kuliah, saya baru mengungkap bahwa semua tulisan yang sering tertempel liar itu adalah tulisan saya.
Lulus kuliah saya mencari pekerjaan, tidak menyangka saya akan menjadi seorang wartawan. Sesekali saya merasa profesi itulah yang paling tepat untuk saya. Saya lalu dilatih bersama Nadi, Rina, Aditiya, Silvi (sekarang semua keluar kecuali Nadi) oleh seorang wartawan senior media tersebut. Jadilah kami berlima young gun usai latihan jurnalis selama seminggu itu. Rina dan Silvi ditempatkan di Bangkalan, saya dikirim ke Sampang, Nadi dan Aditya dikirim ke Pamekasan. Tidak ada yang dikirim ke Sumenep karena wartawan di sana terhitung cukup.
Sampang punya kenangan tersendiri buat saya. Karena saya mengawali dan mengakhiri karir wartawan saya di kabupaten termiskin Madura itu. Tapi Sampang memang surganya wartawan karena di sana semua imbang dan dinamikanya tinggi. Tugas pertama saya di Sampang hanya tiga bulan. Yang paling disesalkan dari mutasi wartawan dari satu lokasi ke lokasi lainnya adalah adaptasi. Tapi wartawan harus bisa menyesuaikan diri di manapun.
Selanjutnya saya bertugas di Bangkalan selama enam bulan. Nah, setelah enam bulan bertugas di Bangkalan, saya mendapat tugas yang sampai sekarang tidak pernah satu pun wartawan di Madura mendapat tugas seperti saya saat itu. Yaitu, memprofilkan semua (meski sebenarnya tidak benar-benar semuanya) orang Madura yang ada di Surabaya. Ini yang membuat saya cukup merasa spesial sebagai wartawan di media itu.
Yang paling saya ingat saat bertugas di Surabaya adalah kebingungan karena setiap hari harus bertemu dan memprofilkan orang Madura di Surabaya. Ada lagi yang saya paling ingat. Saya pernah meliput orang sakit yang dirawat di RSU Dr Soetomo rujukan RSUD Sampang. Saya bahkan sampai ikut mengurus kematian orang itu saat virus penyakit tumor yag dideritanya sudah menjalar ke seluruh tubuhnya.
Satu tahun saya bertugas di Surabaya, tepat pada malam tahun baru 2009 saya dipanggil Direktur dan pemimpin redaksi (pemred) tempat saya bekerja itu. Kabiro Bangkalan diterima sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di Bangkalan. Saya ditunjuk jadi penggantinya. Saat ulang tahun ke-10 media itu, foto saya terpampang sebagai salah satu menejer mudanya. Satu tahun saya bertugas sebagai kepala biro Bangkalan hingga Januari 2010 saya ditunjuk menjadi redaktur di biro Sampang yang juga sekaligus wartawan. Lalu pada 6 Mei 2011 saya mengundurkan diri.
Sebenarnya ada banyak sekali cerita menarik yang ingin saya sampaikan, tapi sekarang bukan saatnya (mudah-mudahan nanti bisa saya menulis buku tentang pengalaman saya yang pendek sebagai wartawan). Berbagai pengalaman itu meMbuat saya merasa mapan sebagai wartawan. Sebab, banyak hal bisa saya dapatkan. Saya yang anak orang biasa bisa bicara dengan siapa saja, bahkan mewawancarai Presiden SBY saat peresmian Jembatan Suramadu 10 Juni 2009 silam.
Saking hebatnya saya (menurut saya ini ya!), saya merasa sangat mapan. Tidak pernah terbesit keinginan saya untuk berhenti menulis dan sebagai wartawan (kecuali saat sedang sulit mendapatkan berita).
Sampai akhirnya saya banyak bertemu wartawan-wartawan senior. Bukan karena tak bisa bekerja lainnya mereka tetap jadi wartawan, tapi karena akses wartawan yang luar biasa pada apapun yang membuat mereka bertahan. Mereka itu takut berhenti karena takut kehilangan kekuatan besarnya. Itu saya ketahui saat salah satu teman wartawan saya diterima sebagai PNS, lalu terkesan turun derajat dan martabatnya dibandingkan saat dia menjadi wartawan.
Banyak yang bilang sebagai wartawan saya cukup idealis, berpotensi dan kritis. Karena itu, saya tidak pernah menggunakan kewartawanan say untuk kepentingan lain selain tugas sebagai wartawan. Kata orang, banyak pihak merasa “terganggu” dengan tulisan saya (entah itu benar atau tidak). Lalu muncul ungkapan bahwa saya adalah pendobrak di antara wartawan-wartawan lain yang memilih jalan moderat.
Saya mungkin orang yang terlalu banyak berpikir, tapi itulah saya. Ketika saya memilih berhenti dan mulai ikut rekrutmen kerja di tempat lain, maka itulah hasil pemikiran saya tentang tingginya derajat dan harkat seorang wartawan. Saya pernah membaca sebuah buku yang menyarankan agar jangan berhenti di satu tujuan hanya karena takut kehilangan hal lain yang sesungguhnya bukan inti dari tujuan itu sendiri.
Apa sebenarnya tujuan saya? Saya tidak punya tujuan, saya punya cita-cita ideal (yang itu lebih jauh dari tujuan). Orang paling tinggi di media tempat saya bekerja sebelumnya pun ikut menghargainya sebagai alasan saya berhenti jadi wartawan. ”Saya tidak apriori dengan keputusan Anda, karena landasannya idealisme,” kata mantan direktur saya yang sudah saya anggap sebagai orang tua sendiri itu.
Jadi, salah satu alasan kenapa saya berhenti sebagai wartawan adalah karena saya takut tidak bisa berhenti sebagai wartawan. Bukan karena saya korupsi atau menggelapkan uang perusahaan, diancam orang yang tersudut berita saya. Saya juga berhenti bukan karena kecewa atas gaji atau beratnya pekerjaan seorang wartawan. Semua hal yang berkaitan dengan kewartawanan tidak satu pun mendorong saya untuk berhenti jadi wartawan.
Dunia kewartawanan bagi saya begitu pintar, lugas, cerdas, lincah, banyak akses, punya kekuatan, punya kemudahan, punya banyak kenalan dan sebagainya. Tidak semua rela meninggalkan itu semua karena sebagian akan merasa kehilangan hampir seluruh kekuatannya. Ingat, saya tidak akan berhenti menulis, saya jurnalis meski bukan wartawan lagi...Dan sebagai jurnalis saya pun punya derajat dan martabat yang sama dengan para wartawan yang bersahaja! (nara) (bersambung: Karena Seseorang Mencuci Otak Saya).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H