Mohon tunggu...
Mangasatua Sianipar
Mangasatua Sianipar Mohon Tunggu... Berpengalaman dalam arsitektur dan pengembangan kawasan.

Pembelajar tidak kenal waktu dan batasan bidang ilmu.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mental Korupsi Dibentuk Oleh Orangtua

14 Mei 2025   09:31 Diperbarui: 14 Mei 2025   13:32 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Ada ungkapan bijak yang mengatakan, “Pohon muda dapat dibentuk, tapi pohon tua akan patah kalau dibentuk.” Dalam kehidupan nyata, nilai ini sering diabaikan. Kita sibuk mengeluhkan rusaknya moral para pejabat, namun lupa bahwa banyak dari mereka pernah menjadi anak-anak yang dibiarkan melanggar aturan tanpa konsekuensi. Mereka tumbuh dalam budaya permisif—budaya yang menganggap pelanggaran sebagai sesuatu yang wajar, bahkan membanggakan.

Mari kita mulai dari hal yang tampaknya sepele: anak SMP yang dibiarkan orangtuanya mengendarai sepeda motor ke sekolah. Padahal jelas bahwa secara hukum, hanya mereka yang memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM)—yakni berusia minimal 17 tahun—yang boleh berkendara di jalan raya. Namun orangtua sering berdalih,
“Rumah jauh,”
“Tidak ada kendaraan umum,” atau bahkan,
“Biar cepat mandiri.”
Tanpa sadar, mereka sedang menanamkan sebuah pesan: bahwa melanggar aturan itu boleh saja, asal memudahkan.

Lebih parahnya lagi, masyarakat pun ikut membiarkan. Tidak ada teguran dari tetangga, guru pun sering enggan menegur karena takut dianggap ikut campur urusan rumah tangga orang lain. Akhirnya, anak-anak ini tumbuh dalam sistem nilai yang keliru: bahwa hukum bisa dinegosiasi, aturan bisa dicari celahnya, dan kebenaran itu relatif. Parahnya lagi bahkan anak² yang sudah bisa naik motor walau kakinya belum sampai ke tanah ketika naik motor, dianggap anak hebat dan membanggakan.

Tak berhenti di situ, permisivitas ini merambat ke segala aspek. Anak yang mencontek saat ujian dibela asal jangan ketahuan. Anak yang menyogok agar diterima di sekolah favorit didukung dengan “itu demi masa depan.” Anak yang curang saat test masuk Perguruan Tinggi malah diacungin jempol. Tanpa disadari, kita sedang mendidik generasi yang terbiasa menipu atau melanggar aturan atau hancur secara moral. Mereka akan tumbuh menjadi remaja, lalu dewasa, dengan mentalitas oportunistik dan nihil integritas.

Maka tak heran jika suatu hari mereka menjadi pejabat, korupsi dianggap bukan kejahatan besar, tapi "kepintaran memanfaatkan peluang." Bukankah sejak kecil mereka sudah terbiasa mencari celah aturan? Bukankah sejak kecil mereka melihat bahwa sistem bisa dimanipulasi, dan pelanggaran tidak selalu berujung hukuman?

Kita sering menyalahkan sistem hukum yang lemah, atau pejabat yang rakus. Namun, akar dari semua itu sering berawal dari rumah—dari pola asuh yang gagal menanamkan disiplin dan kejujuran. Dan juga dari lingkungan yang membiarkan, bahkan mendukung, pelanggaran atas nama kebiasaan atau kenyamanan.

Sudah saatnya kita bercermin. Orangtua harus berani berkata "tidak" saat anak hendak melanggar aturan, meski itu menyulitkan. Masyarakat harus berani menegur, meski berisiko dicap sok suci. Kita tidak bisa lagi membiarkan pelanggaran kecil menjadi kebiasaan, karena kebiasaan itu akan berubah menjadi karakter. Dan karakter yang permisif akan membentuk pemimpin yang rusak.

Jika kita ingin masa depan bangsa yang bersih dari korupsi dan pelanggaran hukum, maka revolusi mental harus dimulai dari rumah. Dimulai dari tidak membiarkan anak naik motor tanpa SIM. Dimulai dari hal-hal kecil—karena di situlah semua kehancuran besar bermula.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun