Mohon tunggu...
Naoumi Fatya Ardini
Naoumi Fatya Ardini Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Nasional

Ilmu komunikasi - 203516516193

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Polarisasi dan Identitas Politik Mengancam Demokrasi: Pencegahan Polarisasi Politik di Pemilu yang Akan Datang

12 Mei 2022   14:15 Diperbarui: 12 Mei 2022   14:22 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Nama    : Naoumi Fatya Ardini

NPM      : 203516516193

Prodi     : Ilmu Komunikasi

Universita Nasional 

Polarisasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah pembagian atas dua bagian (kelompok yang berkepentingan dan sebagainya) yang berlawanan. Polarisasi politik memiliki definisi dua kelompok yang memiliki paham dan pandangan yang berbeda dalam kaitannya dengan politik. Polarisasi politik ini juga lah yang akan menjadi penentu pemimpin di masa depan. 

Polarisasi di Indonesia bukanlah hal yang baru. Tetapi dalam situasi krisis seperti pandemi saat ini polarisasi kian menajam, tentunya hal ini menjadi pertimbangan pemilu pada masa yang akan datang. 

Pada Pilpres lalu, Kementrian Komunikasi dan Informatika mencatat 2.256 hoax di berbagai platform media sosial. dari angka tersebut, 916 diantaranya tergolong hoax politik. Sementara itu, Masyarakat Anti fitnah Indonesia dalam laporannya mengungkapkan 997 hoax  dengan 488 diantaranya hoax terkait politik. Hal ini yang menjadikan polarisasi semakin menajam.

Sepanjang kampanye pilpres sebelumnya, Perludem terlihat banyak sekali kampanye hitam, negatif, berita bohong hingga fitnah melalui media sosial. Kampanye pemilu merupakan bagian dari pendidikan politik masyarakat dan dilakukan secara tanggung jawab. Tapi yang terjadi justru ruang media sosial dijadikan sarana untuk menyebar luaskan pesan terkait SARA. 

Ada beberapa temuan riset yang sangat penting untuk menjadi perhatian serius bukan saja oleh tim paslon tetapi juga para pemangku kepentingan dalam pemilu yang akan datang. Pertama, konteks kontestasi saat pilpres saat ini merupakan residu dari tajamnya polarisasi politik dan politasi isu-isu identitas yang terjadi selama pilpres sebelumnya.

 Dengan kata lain, ada semacam dinamika yang kontestasi dan polarisasi yang terus dirawat. Kedua, desain elektoral yang menetapkan adanya presidential thresholfd turut meningkatkan intensitas polarisasi politik, karena secara politis hanya membuka peluang munculnya dua kandidat. 

Ketiga, fenomena Industri Konsutan Politik, Influnser, dan buzzer dalam kampanye digital paslon. Selain berperan penting dalam menentukan produksi isu dan amplifikasi konten kampanye di platform digital, peran mereka juga turut memperburuk palrisasi politik dan politasi isu-isu identitas. kita dapat melihat secara nyata setiap isu-isu non-programtik terus di reproduksi dan diglorifikasi oleh cyber army masing-masing kubu. 

Keempat, keserentakan pemilu 2019 menyebabkan lebih dominannya isu piplres dan meminggirkan perhatian terhadap pileg, baik DPR RI ,DPD, maupun DPRD Provinsi dan Kab/Kota. Kelima, media sebagai sumber informasi publik jurstu cenderung memiliki preferensi terhadap isu-isu non programtik dalam pemberitaannya. 

lantas apa upaya yang harus dilakukan oleh setiap partai politik dalam mencegah terjadinya polarisasi politik ini?

tentunya partai politik harus bertanggung jawab atas kerusakan politik yang terjadi pada pemilu sebelumnya. konteks ini menjadi sangat penting untuk mendorong kualisis berbasiskan gagasan, tetapi gagasan yang diperlukan kali ini bukan lah jargon yang menggiring opini negatif. Kualisi gagasan yang seharusnya bisa dilakukan partai adalah mendorong Indonesia bersih dari Politik sara.

inilah yang harus menjadi komitmen bagi semua partai politik maupun juga kandidat. Seperti yang kita ketahui, hak partai politik adalah ikut dalam pemilu, bisa memenangkan pemilu, mencalonkan figur-figur terbaik itu adalah hak dari sebuah partai politik. 

Tetapi partai juga mempunyai kewajiban untuk menjadi institusi demokrasi yang demokratis dan punya komitmen terhadap upaya membangun kompetisi yang demokratis.  Sehingga kita tahu antara hak dan kewajiban mana yang lebih di prioritaskan. 

Pemilu yang akan datang harus dilihat sebagai kompetisi elit ditengah bangkitanya populisme dan era postrud pasca kebenaran.

Potensi keterbelahan publik harus dijadikan pertimbangan agar republik ini tetap utuh. Keterlibatan masyarakat sipil dibutuhkan guna menjaga kutuhan republik. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun