Mohon tunggu...
Naomi RuellaEffendi
Naomi RuellaEffendi Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Mahasiswa Fakultas Filsafat UKWMS

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Mendalamnya Pemikiran Ki Ageng Suryomentaram

5 Agustus 2020   20:21 Diperbarui: 9 Agustus 2020   18:47 1141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Mungkinkah ada filsuf semacam Plato di Indonesia, khususnya dalam ranah filsafat Jawa? Apabila selama ini setiap individu, khususnya di zaman Modern ini hanya mengenal segala hal yang berkaitan dengan dunia barat saja, kini saatnya untuk mengenal segala hal yang berkaitan dengan budaya dan pemikiran dari bagian timur dan tentunya nanti berkaitan pula dengan tokohnya. Seringkali setiap orang hanya mengetahui pemikir filsafat yang terkenal saja dan kebanyakan semuanya berasal dari luar Indonesia dan luar Jawa. Kini saatnya untuk mengenal satu pemikir sekaligus filsuf yang berasal dari Indonesia, khususnya dari Jawa yang mana pemikirannya mendalam dan tidak kalah menariknya dengan filsuf besar dunia.

Filsuf tersebut adalah Ki Ageng Suryomentaram yang seringkali dilupakan oleh dunia pendidikan filsafat saat ini, seolah tidak menarik dan pemikirannya tidak relevan untuk dibahas, sehingga akhirnya tergantikan oleh banyak filsuf asing yang mendominasi. Ki Ageng Suryomentaram tentu bagi beberapa orang sudah tidak asing lagi ketika mendengar namanya disebut, tetapi tidak semua dari kita mengetahui pemikiran dan riwayatnya, serta bagaimana ia dapat disebut sebagai Plato dari Jawa. 

Ki Ageng Suryomentaram lahir di Yogyakarta pada tanggal 20 Mei 1892, ia merupakan putra ke-55 dari 79 anak dari pasangan Sri Sultan Hamengkubuwono ke VII dan Bendoro Raden Ayu Retnomandojo, puteri dari patim Danurejo VI. Suryomentaram sendiri memiliki nama bangsawannya, yaitu Bendoro Pangeran Haryo Suryomentaram, akan tetapi Ki Ageng Suryomentaram melepaskan gelar kebangsawanannya dan menjadi rakyat biasa yang kemudian menetap di sebuah desa Bringin, Salatiga, sebagai seorang petani dan ia pada akhirnya dikenal dengan nama Ki Ageng Suyomentaram, pemimpin gerakan Kawruh Bejo.

Suryomentaram juga menjadi pemimpin gerakan Sarasehan Selasa Kliwon dan salah satu muridnya adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantoro) yang merupakan pendirk Sekolah Taman Siswa. Ajaran Ki Ageng Suryomentaram ditulis dalam 12 buku yang dikenal dengan "Filsafat Rasa", Suryomentaram ketika itu melakukan perjalanan singkat dari Yogyakarta ke Surakarta pada awal abad ke-20 dan perjalanan itu pula yang telah membuka mata hati Suryomentaram, ketika ia berada dalam gerbong kereta api Suyomentaram melihat ke luar dari jendela dan ia melihat para petani yang sedang bekerja di sawah, dan merasa bahwa hal tersebut begitu sederhana, hingga sekembalinya ia ke keraton, Suryomentaram menjadi gelisah dan seringkali pergi untuk menenangkan diri, bahkan berziarah ke gua-gua atau ke pantai selatan. 

Akhirnya Suryomentaram meminta izin agar diperbolehkan untuk meninggalkan gelar pangerannya, dan ia pergi tanga pamit ketika permintaannya ditolak oleh sang Ayah. Natadangsa alias Suryomentaram hidup serabutan selama pengembaraan itu, ia sempat kembali ke istana akan tetapi tetap merasa tidak betah dan merasa tidak cocok dengan kehidupan sebagai anak seorang raja. Suryomentaram merasa bahwa ia tidak pernah bertemu orang selama ia hidup di lingkungan instana, sebelum pergi meninggalkan tempat itu Suryomentaram menjual semua harta miliknya dan membagikan uang hasil penjualannya kepada abdi dalem dan sopirnya. Suryomentaram tetap menjalin relasi dengan beberapa pangeran yang memilih senasib dengan dirinya, seperti Ki Hajar Dewantara, Ki Sutapa Wanabaya, Ki Prana Widagdo, Ki Prawira Wirawa, Ki Suryadirja, Ki Sujatmo, Ki Subono, dan Ki Suryaputra.

Sebagaimana disebutkan di atas Ki Ageng Suryomentaram memiliki beberapa ajaran dan pemikiran yang mendalam, yaitu mengenai Ilmu Kawruh Bejo (ilmu kebahagiaan) atau Kawruh Jiwa (ilmu jiwa), dan pangawikan pribadi (mawas diri). Selain itu beberapa karyanya adalah mengenai Wejangan Kawruh Bejo Sawetah (Wejangan Pokok Ilmu Bahagia), dan Ngelmu Kawruh Pituduh Sejatining Gesang (ilmu pengetahuan petunjuk hakikat hidup). Ilmu Kawruh Bejo menurut Suryomentaram adalah bahwa filsafat memberikan jawaban atas pertanyaan "apa hakekat dari segala apa yang ada di atas bumi dan di kolong (bawah) langit". Alam benda di dunia juga dibagi menjadi dua, yaitu benda hidup (manusia, hewan, tumbuhan) dan benda mati (angin, air, udara, dan lain-lain). Cirinya adalah apabila benda hidup dapat bergerak, dan dapat bergerak dari dirinya sendiri, sedangkan benda mati bergerak karena digerakkan oleh benda lain atau tenaga dari luar. 

Menurut Suryomentaram hidup adalah gerak itu sendiri, sedangkan gerak adalah kebalikan dari diam. Gerak adalah berpindah tempat, maka diam dan gerak adalah sifat dari "laku", lelampahan atau lelakon. Ilmu Kawruh Bejo (Ilmu tentang manusia), bahwa manusia adalah makhluk yang berpikir dan merupakan makhluk sosial. Manusia sebagai makhluk yang berpikir ialah manusia sama seperti hewan dan tumbuhan yang memiliki rasa hidup untuk melangsungkan kehidupannya, tapi dalam hal ini manusia memiliki cara yang berbeda untuk memenuhi kehidupannya. Manusia bertindak dengan pemikirannya. Melalui pikiran dan ilmu pengetahuan manusia menciptakan kebudayaan yang sifatnya berkembang dari zaman ke zaman. 

Dalam pandangan Ki Ageng Suryomentaram, setiap manusia juga mengalami berbagai macam perasaan, mulai dari perasaan senang, sedih, susah, kecewa, dan bahagia. Bagi Ki Ageng keinginan dari setiap pribadi manusia dapat membuat mereka menjadi korban keinginannya sendiri. 

Berkaitan dengan "keinginan" Ki Ageng Suryomentaram menyebutnya dengan istilah "Mulur Mungkret" yang berarti keinginan manusia yang dapat terpenuhi pada akhirnya akan menimbulkan juga keinginan lainnya (manusia tidak akan pernah puas) itulah yang disebut bleh Ki Ageng dengan istilah "mulur." sedangkan  keinginan tertentu yang tidak dapat terpenuhi oleh manusia itu sendiri menyebabkan keputusasaan atau yang disebut dengan "mungkret" (memendek/menciut).

Nama Ki Ageng Suryomentaram dewasa ini sudah jarang sekali terdengar, terutama di kalangan kawula muda khususnya Indonesia. Meskipun dikenal dan didengar namanya, tidak banyak orang mengetahui pemikiran Ki Ageng secara mendalam seringkali terkalahkan dengan pembahasan para tokoh lainnya yang dirasa lebih menarik. 

Sebagaimana dipaparkan di atas mengenai sebagian dari keseluruhan pemikiran Ki Ageng, beliau sangatlah berpengaruh dalam tata kehidupan manusia Indonesia, apabila memperdalam mengenai pemikirannya bisa ditemukan banyak sekali relevansi terkait dengan kehidupan manusia dewasa ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun