Mohon tunggu...
Kinanthi
Kinanthi Mohon Tunggu... Guru - foto

Seseorang yang meluangkan waktu untuk menulis sekadar menuangkan hobi dengan harapan semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Misteri Perempuan

3 Mei 2021   13:44 Diperbarui: 3 Mei 2021   13:50 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku duduk di warung kopi yang bersebelahan dengan angkringan. Beberapa batang rokok telah terbakar dan masih tersisa dua batang menunggu giliran untuk dieksekusi pula. 

Kupandangi lalu lalang manusia yang tengah tenggelam dalam kesibukan. Ada yang bergegas tiba di rumah untuk berbuka puasa bersama keluarganya. 

Ada pula yang mulai antre di rumah makan favorit menunggu azan, bahkan banyak pula yang membagi-bagikan nasi untuk orang yang tidak segera berbuka puasa dan masih di jalanan menunggu sesuatu atau sekadar bengong seperti aku sore ini.

Apakah aku sedang bengong? Antara ya dan tidak. Aku seharusnya bersyukur atas amanat tersebut, itu kata adikku. Kami memang selalu berlawanan dalam menjalani dan memaknai hidup. 

Ia sejak kecil selalu rajin belajar dan pacaran hanya dengan seorang perempuan sejak SMA. Sudah 15 tahun hubungan mereka, sampai keduanya bergelar sarjana dan akan segera menikah.

Bagaimana dengan aku? Aku berprinsip dalam hidup ini hanya ada dua pilihan, jika tidak memanfaatkan tentu akan dimanfaatkan. Maka, aku tentu saja memilih yang pertama.  Mengapa tidak? 

Aku tampan, tidak kalah dengan artis Korea, dengan postur tubuh bak peragawan pula. Demikian pula adikku. Akan tetapi, lagi-lagi kami berlawanan dalam memilih prinsip hidup. Jika aku memilih "harus memanfaatkan", ia malah memilih "harus bermanfaat". Ya, sudahlah. Itu kan pilihan hidupnya karena kami sebagai manusia memang harus memilih, bukan dipilihkan.

Seorang anak kecil tiba-tiba mendekatiku dan memberi sebungkus nasi,"Maaf Oom. Ini masih ada sebungkus untuk berbuka? Mau? Kulihat Oom melamun sih." 

Katanya dengan sopan. Kujawab segera. Terimakasih ya. Hmm...pucuk dicita ulam tiba. Uang di dompet hanya tersisa sepuluh ribu rupiah untuk membayar kopi, perut mulai keroncongan minta diisi, tiba-tiba ada orang yang berprinsip "harus bermanfaat" datang berbagi. Inilah rezeki.

Sekilas, muncul lagi kenangan itu. seorang gadis yang dikenalkan teman kepadaku, mengatakan ia tidak keberatan menikah denganku. Untuk sesaat aku tertegun. Betulkah? 

Aku pun segera berkaca. Hmm...meskipun sisa-sisa ketampanan masa muda masih ada, tapi betapa jauh dengan kondisiku saat itu. Kondisi ketika aku masih menjadi rebutan para gadis teman sekolahku maupun grup yang kuikuti saat itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun