Mohon tunggu...
Kinanthi
Kinanthi Mohon Tunggu... Guru - foto

Seseorang yang meluangkan waktu untuk menulis sekadar menuangkan hobi dengan harapan semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Yang Tak Terduga

4 Maret 2021   09:43 Diperbarui: 4 Maret 2021   09:47 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Semoga pengalamanmu melajang membuatku kuat...

"Mengapa tidak mikir cari suami lagi?" godanya.

"Memang mudah mengalihkan hati ke sana ke mari?" jawabnya. Tiba-tiba terbayang suaminya yang baru saja meninggalkannya.

Marty tidak menjawab, hanya meliriknya sekilas, seolah memintanya untuk memahami dirinya pula. Ia pun diam mencoba memahami keunikan hati manusia. Orang lain hanya bisa mengingatkan dengan segala ketulusan maupun sekadar memuaskan keusilan, sedangkan keputusan untuk berubah tetaplah berpulang kepada yang bersangkutan.

"Kamu sih, mengapa lajang malah membeli sekian aset...

"Padahal bukan begitu impianku. Bahwa aku tidak berani mengendarai motor, Kamu sudah tahu kan? Aku semula hanya ingin ada satu rumah satu mobil, lalu menggunakan sisa gajiku untuk menikmati hidup sepenuhnya. Namun, salah langkah meliputiku saat itu, tak bisa mikir jernih akibat risih diusili karena melajang. . Semula, ingin segera mandiri membuatku membeli tanah kavling yang jalannya sempit, mobil tidak bisa masuk. Lalu aku harus membeli rumah lagi...

"Mengapa yang lama nggak segera dijual?"

"Itulah, belajar berhemat ternyata menyenangkan."

"Tidak efektif. Padahal dengan memberdayakan hobimu,uang hasil hobimu itu malah bisa Kaugunakan untuk membayar orang, sehingga hal yang berkaitan dengan urusan rumah dan aset tertangani. Kamu bisa fokus ke hobi."

"Parahnya, hobiku sulit mendapatkan uang dengan cepat. Akhirnya, kunikmati upaya berhemat, upaya menghayati hidup sederhana hanya mengandalkan sisa gaji setelah terpotong aneka cicilan, upaya mengerjakan apa-apa sendirian. Tak kusangka, ternyata mengasyikkan lho,"

Ia tertawa. Kedukaan yang mencekam seolah terpinggirkan sementara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun