"Betul. Jalani saja kendati jauh, apalagi kalian berdua lelaki,"sahut suamiku sambil menuju meja makan.
Aku pun bergegas menemaninya seperti biasanya. Tidak seperti kebiasaannya, ia langsung makan begitu nasi, lauk, dan sayur sudah kutuangkan ke piringnya. Kali ini ia menatapku tajam.
"Kamu tadi bicara apa kepada anak-anak, Te?" tegurnya. Panggilan tante yang disingkat menjadi "te" tidak pernah berubah.
Aku tak kuasa menentang tatapannya. Aku terlalu mencintainya, sehingga aku tak pernah menghalangi keinginannya untuk berbahagia. Ia masih tampak muda dengan prestasi kerja yang menanjak jauh melampauiku yang masih sebagai guru swasta. Selain itu, aku merasa semakin tua terlebih usiaku memang lebih tua daripadanya.
"Anak-anak sudah besar. Mereka akan segera memperoleh pekerjaan, kemudian menikah. Tugasmu sebagai ayah dan suami, apakah tidak ikut usai? Aku...
Airmataku mendadak berlinang. Tapi aku harus mengatakan yang sejujurnya, bahwa ketulusan cintakulah yang membuatku bersiap mengikhlaskannya jika ia ingin meninggalkan aku demi perempuan lain. Perempuan lebih muda yang tidak pincang jalannya. Aku akan ikut anak-anakku saja.
"Apa maksudmu?" ia menahan suapan nasi terakhir dari sendoknya.
"Kamu ingin lari dariku? Demi siapa?" godanya sambil meraih bahuku.
Aku pun tak tahan untuk tidak merebahkan kepala di bahunya sambil masih meneruskan tangisku,
"Nggak demi siapa-siapa,"jawabku. Aku sudah menutup mata hati dari lelaki lain sehingga ulah sok cemburunya itu kuanggap sekadar membesarkan hatiku. Kendati, teman-teman memang ada satu dua yang suka mengobrol denganku yang kutu buku.
"Kesempurnaan hanya milik Tuhan. Bukankah yang kita cari kebahagiaan? Biarkan anak-anak menyongsong masa depannya ke arah mana saja di penjuru dunia ini."