Mohon tunggu...
Kinanthi
Kinanthi Mohon Tunggu... Guru - foto

Seseorang yang meluangkan waktu untuk menulis sekadar menuangkan hobi dengan harapan semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sakit Kiriman

21 Januari 2021   15:44 Diperbarui: 21 Januari 2021   15:50 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku tersentak kemudian terbangun. Syukurlah hanya mimpi. Kuperhatkan suamiku yang tertidur pulas di sebelahku. Konon, ada yang mengatakan mimpi adalah bunga tidur. Namun, mimpi yang baru saja kualami mengapa sedemikian mengerikan? Kulirik sekali lagi, suamiku tidak segera terbangun.

Aku pun turun dari ranjang kemudian melakukan salat malam pukul tiga dini hari itu. Suamiku belum juga terbangun mengikutiku seperti biasanya. Sampai istigfar terakhir yang kuucapkan, tangisku terasa masih menuntut untuk kuledakkan dan penyebabnya hanyalah mimpi. Aku masih saja istigfar, mohon ampun, tanpa menyampaikan permohonan lain-lain seperti biasanya jika melakukan salat malam.

Mimpi yang aneh. Mengapa membuatku terbayang-bayang? Aku pernah membaca sekilas pesan Rasulullah agar tidak menafsiri mimpi dengan hal-hal yang buruk. Jika ditafsiri dengan buruk apalagi diceritakan kepada orang lain, biasanya malah terjadi. Sebuah sugestikah? Sehingga pendengar bahkan pencerita pun tersugesti dan akhirnya mimpi itu malah terjadi sesuai apa yang ditafsiri?

Tapi, mimpiku sungguh aneh. Aku melihat suamiku yang tengah tidur di sebelahku dalam kondisi telah menjadi mayat. Aku benar-benar merasa tengah tidur di sebelah mayat yang telah dibungkus dengan kain putih dan siap dimakamkan. Siapa yang tidak ngeri?

Entah mengapa, beberapa hari mimpiku itu menghantuiku, kendati aku tidak menceritakan kepada siapapun. Aku pun mengingat-ingat kejadian apakah yang kualami, sehingga aku bermimpi sedemikian mengerikan? Beberapa hari yang lalu, kami memang menemui rekan bisnis agar segera melunasi utangnya. Uang yang sudah seharusnya dibayarkan sebelum merebaknya pandemi covid-19.

Di luar dugaan, mungkin pengaruh perekonomian yang seret pada pandemi covid-19 ini, ia bukan meminta tangguh atau sekadar meminta maaf belum bisa membayar, tapi marah. Amarah yang luar biasa sampai mengucapkan ancaman. Duh, andaikan ancaman akan membunuhku sekeluarga itu kurekam kemudian ada keluargaku yang mengalami bencana, apa jadinya?

Di luar dugaan pula, tanpa kusengaja, mungkin karena sebelumnya aku tengah melakukan video call dengan anakku, lalu terkejut mendengar amarahnya dengan gawai kuletakkan begitu saja di sebelahku, suara ancamannya pun terekam jelas. Anakku bahkan terkejut juga mendengarnya.

Setelah peristiwa itu, walaupun aku tidak memikirkannya, suamiku menunjukkan gejala aneh. Setiap sore setelah salat berjamaah di masjid, biasanya ia menemaniku menonton TV kadang di ruang keluarga, yang sering malah di ruang tidur, kini tidak lagi.

Ruang keluarga memang terasa sepi setelah anak-anak memencarkan diri. Ada yang kuliah ke luar kota, ke luar negeri, bekerja di luar kota dan luar negeri. Kami pun kembali berdua lagi seperti masa muda, masa-masa awal kami merintis kehidupan sebagai pengusaha. Istilah kerennya saat itu, pengusaha muda.

Akan tetapi, kini setiap sore sepulang dari masjid untuk salat isya, suamiku sudah tak sanggup lagi menahan kantuknya. Begitu merebahkan punggung di kasur, ia pun langsung tertidur. Yang mengherankan, tubuhnya tampak kurus. Aku pun mendesaknya, apakah ia sakit? Apakah ada gejala semacam terserang covid-19? Ia tidak merasa ada gejala tersebut, hanya saja tubuhnya terasakan sakit pada jam-jam tertentu. Sakit yang luar biasa dan hilang timbul.

Hm...aku kembali teringat mimpiku. Diam-diam aku menangis tanpa menceritakan mimpiku kepadanya, cemas ia terlanda kepikiran. Bagaimana jika malah tersugesti lalu menyerah? Tuhan, aku tak sanggup kehilangan dirinya, kataku dalam hati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun