Mohon tunggu...
Kinanthi
Kinanthi Mohon Tunggu... Guru - foto

Seseorang yang meluangkan waktu untuk menulis sekadar menuangkan hobi dengan harapan semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rumah, Rumahku...

24 September 2020   20:55 Diperbarui: 24 September 2020   20:56 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mungkin bagi banyak orang, keputusanku yang tidak seragam membuat mereka keheranan. Bagiku, kami lahir dan mati tidak berbarengan, mengapa untuk sebuah keputusan yang bersifat pribadi, tidak merugikan siapapun, bahkan tidak ada aturan yang melarangku melangkah untuk keputusan tersebut, aku harus seragam pula?

Sejak lama keinginan itu. Mungkin bersamaan dengan langkahku menuju tempat kos di kota ketika harus bersekolah menengah atas. Bahkan jauh sebelum itu, tatkala aku harus melangkah menuju sekolah menengah pertama di kota kecamatan. Aku sudah menganyam angan, bahwa kelak aku akan membeli rumah di kota.

"Dulu, zaman Majapahit, sungai merupakan sarana perjalanan. Orang menggunakan perahu untuk bepergian. Orang yang memiliki tanah dekat sungai tentu orang kaya. Biasanya orang kaya itu menurun sampai tujuh turunan,"jawaban nenek mendengar protesku mengapa beliau bertempat tinggal di tepi sungai? Tempat tinggal yang membuatku harus berjalan kaki sekitar dua kilometer lebih menuju jalan raya buatan Daendels yang memanjang dari Anyer menuju Panarukan.

Aku tidak peduli dan tetap bersedih. Namun, kesedihan ala anak-anak, tentu tidak mengendap lama. Bahkan kesedihan tersebut pun berubah menjadi sebuah impian. Impian tentang memiliki tempat tinggal yang tak akan membuatku tersiksa karena mudah terjangkau dari segala arah. Untuk itulah, aku berusaha rajin belajar jika telah diumumkan akan ada ulangan.

Impian pun sempat tersendat tatkala bapak memintaku bercita-cita menjadi guru. Cita-cita yang segera kutolak saat itu, karena bapak pun tidak berdaya berpindah tempat tinggal, yang bagiku terlalu jauh dari pusat kota. Mengapa? Apakah karena saat itu gaji guru kecil? Sepertinya begitu, buktinya bapak tidak bisa segera mandiri. Bapak masih tinggal di rumah nenek sampai kami bertiga dilahirkan ke bumi.

Maka, begitu memutuskan bekerja, dan sanggup menyisihkan gaji, program awal memang ingin membeli rumah. Aku pun bertanya-tanya tentang harga perumahan. Manakala cicilan per bulan sanggup kubayarkan, aku pun dihadapkan pada fakta, bahwa aku tidak memiliki nyali mengendarai motor ke jalan raya. Tempat tinggalku berjalan raya jalan provinsi Surabaya-Mojokerto. Setiap hari bus dan truk seakan berlomba dengan pengendara motor. Duh...mengerikan bagiku.

Maka, keinginan mencicil rumah pun terhentilah, beralih menabung untuk membeli mobil. Keinginan yang aneh mengingat aku tak pernah berlatih karena di rumah orangtuaku hanya ada motor. Akan tetapi, tatkala adik-adikku mulai bersiap-siap menikah satu per satu, aku pun ingin pergi dari rumah orangtua, daripada pusing ditanya-tanya kapan menyusul adik-adiknya.

Ada tanah dijual, sekitar 200 meter dari jalan raya, di perjalanan menuju kota pula. Dengan pertimbangan kavling tersebut lebih padat penduduk, lebih dekat dengan jalan raya sehingga aku tak harus memiliki mobil bahkan motor untuk transportasi. Di jalan raya banyak angkutan umum ke arah mana saja. Memang menyenangkan akhirnya. Perjalanan ke pusat kota tinggal berjalan kaki 200 meter kemudian menumpang angkutan umum menuju Mall-mall di Surabaya, terlebih ketika di sekitar sedang mati lampu, listrik padam, bergegas ke mall dengan alasan "ngadem" mencari tempat dingin ber-ac adalah pilihan yang menyenangkan.

Rumah. Saat itu seolah hal mewah bagi para lajang bahkan bagi para mereka yang telah satu dua tahun menjalani pernikahan. Maka, keputusanku memiliki rumah seolah menyulut masalah bahkan fitnah. Hal yang biasa. Walaupun untuk selanjutnya aku merasa terpuruk dan tersungkur, mungkin penyebabnya pun bukan melulu karena fitnah. Seluas apa pun aku mencari-cari penyebab yang ditimbulkan orang lain, lebih tenang jika mencari penyebabnya dari diri sendiri.

 Rumah itu pun kutempati. Rasa senang yang menghinggapi ternyata tidak lama. Ibarat romantisme pengantin baru yang kabarnya hanya tiga bulan lalu terasa hambar. Romantisme yang menepi dan akhirnya menuju persahabatan. Demikian pula dengan rumah yang kumiliki. Pada tahun kedua, kejenuhan mulai datang melanda. Sebetulnya bukan jenuh, tapi keinginan awal memang ingin memiliki rumah yang ada lahan untuk carport. Bagaimanapun, memiliki mobil adalah keharusan karena benda itu belum pernah kumiliki, belum pernah dimiliki orangtuaku pula.

Jalan menuju rumahku yang semula tampak lebar dan cukup untuk dilalui mobil, semakin sempit bgitu banyak rumah dibangun di kavling-kavling kosong sekitarku. Akhirnya, mau tak mau, angan memiliki rumah lagi di perumahan yang terlihat lebih tertata rapi pun menjadi impian berikutnya. Untuk itu, aku pun bersemangat menabung lagi dan lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun